Minggu, 01 Maret 2009

Suara untuk Perubahan

SUARA UNTUK PERUBAHAN

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Mengapa ada wacana golongan putih (golput) ? Dan mengapa pula pemilih menjadi kehilangan ideology dalam setiap pilihannya ? Yang mesti ditekankan sesungguhnya adalah partisipasi sepenuhnya dalam pemilihan dengan menghindari golput, sekaligus konsisten dengan pilihannya. Karena sesungguhnya konsistensi dalam pilihan dan menggunakan suara adalah tindakan menjaga dan merawat demokrasi yang berujung pada tercapainya hasrat akan perubahan kearah yang lebih baik.

Bagaimana sesungguhnya demokrasi beroperasi sehingga menghasilkan pemerintahan yang baik ? Kata ‘demokrasi’ berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi sesungguhnya dapat diandalkan sebagai mekanisme untuk mewujudkan kehendak rakyat. Ini bukan saja karena kegagalan otoritarianisme. Tapi telah menjadi keniscayaan sejarah. Ada keyakinan bahwa apa pun rezim atau budaya, seluruh umat manusia pada dasarnya mencintai kebebasan, dan akan memilihnya apabila diberi kesempatan.

Karena itu tidak kurang dari Francis Fukuyama yang menyebutkan bahwa tegaknya demokrasi liberal adalah akhir dari sejarah (the end of history). Berakhirnya sejarah bukanlah berarti berakhirnya peristiwa-peristiwa. Peristiwa akan terus berlanjut. Tapi peristiwa-perstiwa akan senantiasa dilihat dalam perspektif demokrasi.

Secara sederhana, demokrasi liberal bisa didefinisikan sebagai sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan perwakilan, aturan hukum, dan konstitusi, serta perlindungan terhadap kebebasan individu, dan hak-hak minoritas. Demokrasi liberal tidak hanya menekankan pada pemilu dan jumlah mayoritas, tapi juga pada kebebasan individu dan hak-hak minoritas.

Banyak yang kerap menyangka bahwa demokrasi hanyalah pemilu dan mayoritas. Demokrasi semacam ini lebih layak disebut sebagai “demorasi elektoral” atau “demokrasi prosedural.” Demokrasi semacam ini hanya menekankan mekanisme pertarungan politik saja, dan kurang peduli pada inti yang menjadi target demokrasi, yakni kebebasan individu dan hak-hak sipil.

Demokrasi pada akhirnya menjadi alat ukur terbaik cara sebuah bangsa mengelola dirinya. Penghancuran terhadap demokrasi sama saja dengan memandulkan sebuah masyarakat dalam mengelola diri dengan cara terbaik. Mengapa ia dianggap terbaik? Hal ini karena demokrasi menihilkan dominasi dan meniscayakan mufakat. Setiap individu adalah personalisasi terbaik dari kehendaknya. Sistem adalah hasil terbaik yang diperoleh dari agregasi kehendak bersama dari semua anggota masyarakat.

Proses demokratisasi di Indonesia sejak reformasi bergulir merupakan indikasi terjadinya dinamika sejarah baru yang cukup menggembirakan dalam proses kebangsaan dan kenegaraan. Ditandai dengan keberhasilan melaksanakan pemilu legislatif, pemilihan presiden langsung dan selanjutnya pemilihan kepala daerah secara langsung hampir tanpa konflik mengkhawatirkan.

Indikator keberhasilan secara kuantitatif bisa diketahui dari jumlah partisipasi pemilih, parpol, jumlah calon kepala daerah sampai tingkat keamanan serta konsolidasi di dalamnya, sudah waktunya kita refleksikan dengan tingkat signifikansi perubahan dan perbaikan kondisi masyarakat.

Keberhasilan proses (transisi) demokrasi saat ini telah menjadikan dunia internasional menempatkan Indonesia sebagai new state of democracy di Asia yang sebelumnya di kenal sebagai lahan subur diktator dan otoritarianisme.

Karena itu pencapaian ini mestilah dijaga dengan baik. Pencapaian ini tidaklah mudah. Banyak negara dimuka bumi ini masih dicengkram rezim-rezim otoritarian. Bagaimana cara kita ikut terlibat dalam menjaga pencapaian terbaik kita ini ? Pertama, terlibatlah secara kritis dalam proses election. Janganlah menghindar untuk menjadi golongan yang tidak menggunakan suaranya (golput). Dalam beberapa hal sikap ini sebenarnya cukup simpatik, namun sama sekali tidak membawa kontribusi bagi keajegan demokrasi. Menjaga demokrasi adalah mengawalnya dari bilik suara hingga ke parlemen. Menjadi golput pada akhirnya semata menjadi penonton, karena kehilangan hak untuk mengawal demokrasi di parlemen, karena ia tidak memulainya dari bilik suara. Intinya, “aku yang memulai, maka akupula yang akan bertanggungjawab”.

Kedua, jika diawali dengan sikap kritis, maka untuk selanjutnya tetaplah konsisten dengan pilihan tersebut sebagai medium untuk membentuk kultur partai. Partai sesungguhnya adalah agregasi dalam sekumpulan orang. Karenanya, partai memiliki ideology. Memiliki world view, sebuah cara untuk memandang dunia. Berdasarkan cara pandang dunia inilah, sekumpulan orang mengelola dan menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar bangsa. Apa jadinya jika sekumpulan orang didalam sebuah partai maupun para pendukungnya memiliki world view yang berbeda-beda?

Sangat mungkin yang terjadi adalah politik pragmatis. Politik yang tidak dilandasi idealisasi terhadap dunia yang dituju. Pola ini sangat membahayakan karena sangat potensial memungkiri kenyataan bahwa suara rakyat adalah keutamaan yang dijunjung. Politik berjalan tak tentu arah dan liar.

Karena itu menetapkan pilihan yang diawali kritisme untuk kemudian memperjuangkannya habis-habisan adalah praksis membentuk ataupun memelihara kultur, ideology ataupun world view partai. Pada akhirnya partai memiliki road map yang jelas, akan dibawa kemana masyarakat Indonesia . Hanya sedikit partai yang memiliki ideology yang jelas. Sebagian besar adalah upaya-upaya pengorganisasian kepentingan baik kelompok maupuin primordial untuk kepentingan kelompoknya semata. Sejarah Indonesia memberikan banyak pelajaran bagi masyarakat Indonesia , mana partai yang memiliki landasan ideologis yang jelas dan mana yang tidak, bahkan semata memungutnya ditengah jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar