Minggu, 01 Maret 2009

Jujur adalah Perlawanan

Oleh Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Konon, ada sebuah masa dalam sejarah sebuah negeri, rakyat hidup penuh ketakutan. Pemimpinnya sangat kuat. Setiap hari adalah teror. Hubungan sesama masyarakat beredar melalui bisik-bisik, isu, gosip, rumor dan semacamnya. Sulit mengetahui mana yang sesungguhnya benar dan mana yang salah.

Para politisi tampil dengan wajah palsu memperdaya rakyat. Akademisi lebih tepat disebut tukang, karena tugasnya hanya menyuguhkan pembenaran akademis atas polah pemimpin negeri. Birokrat adalah serigala bagi rakyat. Suap seperti darah segar bagi mereka. Alhasil, rakyat tidak mendapatkan manfaat sama sekali dari tegaknya sebuah rezim.

Hingga tiba suatu masa, ketika kejujuran mengambil peran. Ketika rakyat menyeru, tidak! Rakyat jujur kepada pemimpin negeri bahwa mereka tidak ingin lebih lama hidup didalam teror. Jika selama itu mereka diam, ada yang dipendam karena ketakutan. Kini jujur merupakan bagian dari perlawanan. Peristiwa Mei 98 adalah kontes kejujuran kolektif yang dipertontonkan rakyat kepada rezim.

Jujur sangat mungkin punya makna yang tidak tunggal. Namun, agaknya semua dipertemukan oleh keinginan untuk menghindar dari tipu muslihat. Jujur adalah ketegasan untuk mengambil jalur manfaat dengan kebenaran. Modal utama jujur adalah keberanian. Tidak ada perlawanan tanpa keberanian.

Kini, apakah demokrasi masih membutuhkan kejujuran? Bukankah demokrasi telah meniadakan teror sebagai penyebab ketakutan? Apakah demokrasi mereduksi kemampuan sistem untuk berbohong?

Sebagai sebuah sistem, demokrasi semata organisme yang akan bergerak berdasarkan praksis individu-individu. Oleh karena itu, demokrasi sebenarnya mesti dipahami secara menyeluruh. Sangat mungkin, prosedur demokrasi sebagai jalan untuk mendapatkan pemimpin-pemimpin, sudah berjalan baik. Namun akankah ada jaminan bahwa pemimpin yang lahir serta merta menjadi demokratis? Usai pemilu, lantas diam menunggu pemimpin berbuat untuk kita?

Tidak, justru disinilah dibutuhkan kontrol yang ketat bagi terpenuhinya hajat publik dari hasil prosedur demokrasi tersebut. Kembali kejujuran dibutuhkan. Demokrasi sangat curiga dengan semua orang. Karena semua orang berpotensi berbuat salah, oleh karena itu setiap pemimpin mesti dikontrol. Tidak ada individu yang membawa watak luhur. Semuanya adalah praksis sosial.

Dalam proses formulasi kebijakan publik, misalnya, sangat mungkin negara hanya mewakili kepentingan tertentu dalam masyarakat. Mengingat negara dipenuhi oleh sekelompok orang yang memiliki perspektif yang sama perihal bagaimana negara dikelola. Mereka mengalami sindrom 'groupthink'. Apa itu groupthink?

Groupthink adalah kecenderungan kelompok untuk memiliki cara berpikir yang seragam. Mereka sangat kompak (cohesive). Diluar kelompok mereka akan dianggap sebagai kelompok penentang yang tidak bernalar. Mereka bisa diabaikan. Groupthink cenderung menggunakan nalar yang sama untuk menilai orang atau kelompok lain. Mereka menjadi tidak kritis, karena cenderung mengabaikan nalar alternatif atas sebuah isu. Kasus Teluk Babi dan perang Vietnam adalah contoh bagaimana rezim di US diisi oleh orang-orang yang memiliki pemikiran anti kritik. Kegagalan dari kedua kasus ini menjadi bahan pelajaran betapa sebuah rezim sangat rentan oleh perspektif yang keliru dalam sebuah proses formulasi kebijakan.

Jika setiap rezim berpotensi keliru pada saat proses formulasi kebijakan bagi publik, maka dibutuhkan keberanian untuk jujur. Rakyat secara jujur mesti mendesakkan kepentingannya. Rakyat sendiri telah memilih untuk tidak hidup dalam teror dan diam. Minyak tanah mahal, biaya transportasi yang menggila, bahan makanan yang harganya tidak kunjung mereda, birokrasi yang lamban dan korup, kesehatan warga yang terabaikan, keamanan yang semakin menjadi barang langka, dll. Semua itu merupakan agenda publik yang mesti didesakkan.

Politisi harus berani untuk jujur mewakili kepentingan warga yang diwakilinya. Demokrasi representasi telah jelas menggambarkan bagaimana pola relasi antara politisi dengan warga yang diwakilinya. Rakyat seolah berkata: "Jangan ada dusta diantara kita".

Inilah politik yang mengedepankan moralitas. Politisi mesti memahami kognisi publik dan penghargaan sepenuh hati. Publik sangatlah rasional. Publik tidaklah bodoh tapi penuh akal sehat. Publik memiliki instrumen untuk memindai mana politisi baik dan mana politisi busuk. Publik bergerak pada level ekspektasi. Politisi yang jauh dari ekspektasi publik akan ditinggalkan. Ekspektasi mereka adalah terjadinya perubahan mendasar dalam hidup mereka.

Dengan demikian, komitmen moral politisi adalah memperjuangkan ekspektasi publik. Karena kejujuran butuh keberanian, dan wujud keberanian adalah memperjuangkannya, diharapkan akan diperoleh kebangkitan menyeluruh taraf hidup rakyat secara memadai dan bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar