Minggu, 01 Maret 2009

Jauhi Politisi Kutu Loncat !

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Demokratisasi di Indonesia telah menyediakan ruang yang cukup besar bagi ekspresi politik warga negara. Partai-partai bermunculan bagai jamur di musim hujan. Gejala ini sangatlah menggembirakan. Gejala ini sangat diperlukan untuk mengisi masa ephoria demokrasi. Ephoria bukanlah sesuatu yang negatif. Setiap masyarakat memang mengalami gejala kelewat batas jika kebebasan dirasakan sebagai ujung dari pengekangan. Anggap saja ephoria layaknya sebuah pesta. Pesta untuk merayakan kebebasan.

Menjamurnya partai politik di masa eforia ini juga mesti dilihat sebagai hal yang normal. Karena lewat partai politiklah sesungguhnya warga negara menyalurkan ‘libido’ ekspresi dan tuntutan-tuntutan politisnya. Berbagai macam problem yang terjadi ditingkat masyarakat mesti mendapatkan solusi real pada tingkat politis. Khalayak umum sangat paham bahwa solusi tidak selamanya terjadi ditingkat teknokratis di pemerintahan, tapi seringkali menemukan jalan keluarnya di level politik.

Hal inilah yang membuat banyak warga negara menemukan jalan lain selain kemampuan pragmatis solusi teknokratis. Warga negara semakin pandai dalam berpolitik. Namun demikian kemampuan berpolitik seringkali justru disalurkan bukan untuk kepentingan warga negara sendiri, tapi justru untuk kepentingan kekuasaan. Kepentingan kekuasaan sangat kental dalam pendirian partai-partai politik.

Pada praktiknya dapat diamati bahwa pendirian partai politik tidak selalu karena perjuangan untuk menegakkan ideologi partai yang telah ditetapkan semula. Tapi pendirian partai lebih banyak karena upaya untuk mendapatkan posisi-posisi kunci di partai baru sekaligus untuk mendapatkan simpul kekuasaan di pemerintahan.

Fenomena ini melahirkan gejala khas pada tingkat individual, para politisi. Keadaan inilah yang kemudian melahirkan politisi-politisi ‘kutu loncat’. Karena ketidakpuasan atau estimasi, maupun tawaran yang menggiurkan, maka selain mendirikan partai baru, para politisi berpindah-pindah dari satu partai ke partai lainnya. Keadaan ini memunculkan pertanyaan, apakah ideologi benar-benar telah mati sehingga dengan mudahnya para politisi pindah ‘kos’ dari satu tempat yang lain.

Keadaan tersebut sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah semua partai memiliki ideologi? Tidak semua partai politik memiliki ideologi yang jelas. Partai politik yang memiliki ideologi dapat tercermin dari pendukungnya yang militan. PDI Perjuangan misalnya, oleh banyak pengamat disebut-sebut sebagai partai yang memiliki ideologi yang kuat. Karena itu kadernya memiliki militansi yang kuat. Beberapa partai Islam yang berbasis tradisional juga dianggap memiliki basis ideologi, bahkan pemilih tradisionalnya , juga kadernya enggan berpindah-pindah.


PARTAI DAN CALEG IDEAL
Lalu bagaimana karakter ideal partai politik muncul dan berkembang di Indonesia? Idealisasi ini mungkin bisa mereduksi fenomena politisi ‘kutu loncat’. Asumsinya jika kepartaian berkembang dengan baik, maka pendukung maupun para kadernya memiliki tingkat pemahaman yang jelas, bahwa partai didirikan bukan semata untuk tujuan kekuasaan tetapi terutama sebagai medium agregasi dan artikulasi kepentingan umum warga negara. Berikut ini beberapa karakter yang bisa disarikan, antara lain (Surbakti, 2002):

Pertama, partai politik yang dikehendaki terbentuk dan berkembang di Indonesia adalah partai politik yang dapat dikontrol oleh rakyat. Partai politik yang dapat dikontrol oleh rakyat adalah partai politik yang: (a) dibentuk dari kalangan kalangan masyarakat sebagai suatu gerakan rakyat; (b) partai politik yang mempunyai basis lokal yang jelas dan kuat; (c) dibentuk berdasarkan kepedulian yang sama pada satu atau lebih isu penting; (d) dari segi keuangan tergantung kepada iuran dan kontribusi para anggota; dan (e) para pengurus dan calon partai untuk lembaga legislatif dan eksekutif dipilih secara langsung, terbuka, dan kompetitif oleh para anggota.

Kedua, sistem kepartaian yang dipandang cocok dan sesuai dengan kemajemukan masyarakat Indonesia tetapi pada pihak lain dapat menghasilkan pemerintahan yang efektif adalah sistem kepartaian pluralisme moderat yang ditandai oleh jumlah partai yang tidak terlalu banyak tetapi juga tidak terlalu sedikit dan jarak ideologi antarpartai juga tidak terlalu jauh sehingga konsensus masih mungkin dicapai.

Ketiga, partai politik yang dikelola oleh para pemimpin dan aktivis yang memahami demokrasi: (1) merupakan upaya memanusiakan kekuasaan (humanizing power), dan (2) bukan sekadar kompetisi tetapi juga kompetensi, dan yang mengelola partai politik (a) tidak dengan pragmatisme yang berdampingan sektarianisme kental, melainkan dengan visi dan misi memanusiakan penggunaan kekuasaan; (b) sebagai sarana pencerahan masyarakat; dan (c) dengan moralitas publik yang jelas sehingga dengan tegas menolak praktik KKN.

Dan keempat, yang dikehendaki terbentuk dan berkembang di Indonesia bukan saja partai politik yang merasa memerlukan dan tergantung kepada masyarakat tetapi juga partai politik yang tidak memonopoli: (a) definisi kepentingan bersama sebagai bangsa melainkan bersedia berdialog dengan kalangan ranah masyarakat warga dan ranah dunia usaha untuk menyepakati apa yang menjadi kepentingan bersama; (b) ranah kekuasaan (legislatif, eksekutif, judikatif, dan lembaga-lembaga negara lainnya) sehingga yang dapat berkiprah pada ranah kekuasaan tidak hanya orang-orang yang dipersiapkan dan diajukan partai politik tetapi juga oleh calon-calon yang
dipersiapkan dan diajukan oleh masyarakat sendiri; (c) informasi publik, seperti agenda dan rancangan peraturan perundang-undangan yang akan dibahas dan diputuskan, serta penerimaan dan pengeluaran partai, dan bertindak transparan kepada publik dengan membuka akses kepada publik seluas mungkin untuk berinteraksi dengan partai politik tersebut.

PENUTUP

Mengingat idealisasi tersebut mereduksi eksistensi partai semata sebagai medium pencapaian kekuasaan, maka perlu didorong agar idealisasi tersebut bisa terwujud. Perwujudannya akan menghilangkan ambisi yang ingin dilakukan oleh para petualang politik, para politisi ‘kutu loncat’. Mengapa? karena bagi mereka berpolitik adalah jalan menuju kekuasaan. Dekatilah kader partai yang saat ini mengajukan diri sebagai caleg dengan ciri-ciri: jujur, peduli dan cemerlang !. Kata kunci tersebut menyediakan jalan bagi pencapaian cita-cita bahwa partai adalah medium kepentingan umum warga negara Semoga !

Menjadikan Masyarakat "Melek Media"

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group


Apa yang terbayangkan saat seorang anak menonton tayangan kekerasan dalam film-film Hollywood? Bagaimana pula respon seorang ibu menyaksikan sinetron yang dramatis ataupun romantis? Bisa dibayangkan bahwa penonton akan larut didalamnya dan menganggap itu adalah nyata dalam keseharian. Secara umum, masyarakat tidak terlatih saat berinteraksi dengan media.
Teknologi komunikasi terutama televisi, komputer dan internet telah mengambil alih beberapa fungsi sosial manusia (masyarakat), setiap saat kita menyaksikan realitas baru di masyarakat, realitas itu tidak sekedar sebuah ruang yang merefleksikan kehidupan masyarakat nyata dalam alam pikiran manusia, akan tetapi sebuah ruang dimana manusia bisa hidup di dalamnya.
Media massa merupakan salah satu kekuatan yang sangat mempengaruhi umat manusia di abad 21. Media ada di sekeliling kita, media mendominasi kehidupan kita dan bahkan mempengaruhi emosi serta pertimbangan kita. Kita seakan tidak bisa hidup tanpa media massa.
Di balik keterpesonaan pada kecanggihan teknologi media massa, serta kemampuannya untuk memperpanjang kapabilitas manusia (McLuhan, 1966), media massa bagaikan sekeping koin dengan sisi positif dan negatif sekaligus. Ini tercermin dalam pandangan-pandangan yang sangat bertolak belakang dalam hal fungsi dan efek media massa di tengah sistem sosial.
Paradigma fungsionalisme struktural dalam kubu sosiologi memandang media massa sebagai salah satu subsistem yang berfungsi menunjang keberlangsungan sistem sosial. Media massa di sini dimaknai secara positif, memberi kontribusi fungsional bagi pemeliharaan sistem kemasyarakatan yang sehat.
Namun, disisi lain media massa dewasa ini kerap dijejali oleh informasi atau berita-berita yang menakutkan, seperti kekerasan, pencurian, pelecehan seksual, dan sebagainya. Bahkan media massa, kini menjadi penyebar pesan pesimisme. Akibatnya, media massa justeru sangat menakutkan bagi masyarakat. Di negara-negara berkembang, banyak sekali dijumpai kenyataan bahwa harapan-harapan yang diciptakan oleh pesan komunikasi dalam media massa menimbulkan frustrasi, karena tidak terpenuhi harapan yang dipaparkan media itu.
Televisi merupakan media massa yang amat populer dalam masyarakat kita Di Indonesia, berdasarkan survei AGB Nielsen di tahun 2006 ternyata 42,86 sampai 95,83% masyarakat Indonesia suka menonton televisi. Hasil ini lebih lanjut dijelaskan bahwa “Hampir 8 dari 10 orang dewasa di kota-kota besar menonton televisi setiap hari dan 4 dari 10 orang mendengarkan radio”.
Keberadaan televisi di Indonesia menunjukan perkembangan luar biasa. Menjamurnya stasiun televisi menumbuhkan ketatnya persaingan antar industri penyiaran, sehingga "perang" program siaran antar televisi menjadi menu wajib sehari-hari. Program yang ditawarkan berorientasi pada pemenuhan selera pasar,
Dalam kondisi demikian, keberadaan televisi menjelma menjadi representasi kekuatan pasar. Logika ini "mengharuskan" pengelola televisi meletakkan dan memosisikan masyarakat (pemirsa) sebagai potensi pasar (objek) yang harus dimaksimalkan untuk menghasilkan keuntungan ekonomis sebesar-besarnya.
Menonton televisi berbeda dengan budaya baca-tulis. Perkembangan keadaannya jauh melampaui media cetak majalah, koran apalagi buku. Televisi telah menjadi media keluarga, telah menjadi salah satu prasyarat yang "harus" berada di tengah mereka. Sebuah rumah baru dikatakan lengkap jika ada pesawat televisi di dalamnya.
Pengelola media acapkali lupa bahwa mayoritas rnasyarakat kita kurang terdidik, dan karenanya kurang kritis, termasuk yang berada di pedesaan. Mereka juga lupa bahwa sebagian pemirsa adalah anak-anak dan remaja yang cenderung meniru apa yang mereka lihat. Persoalan yang penting dibahas adalah bagaimana kita dapat meminimalkan dampak negatif yang muncul?. Apakah yang harus kita lakukan?.
Di sinilah urgensi literasi media (kesadaran media). Pemberdayaan khalayak pemirsa melalui literasi media sudah selayaknya mendapatkan perhatian serius. Literasi media perlu dilakukan guna memberi pemahaman bagaimana media bekerja, bagaimana media mempengaruhi kehidupan, dan bagaimana kita menggunakan media secara bijak. Melalui literasi media, kita bisa memahami, menganalisis, dan menafsirkan berbagai agenda terselubung dan manipulasi-manipulasi di balik suguhan media.
Konsep media literacy pertama kali muncul pada tahun 1980an, dan kini telah menjadi standar topik kajian di sekolah-sekolah berbagai negara. Secara logis konsep ini tidak muncul dari kalangan media, melainkan dari para aktivis dan akademisi yang peduli dengan dampak buruk media massa yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan kapitalis hingga menafikan kepentingan publik.
Media literacy kerap disalahkaprahkan dengan media education. Media literacy bukanlah media education. Media education memandang media dalam fungsi yang senantiasa positif, yaitu sebagai a site of pleasure—dalam berbagai bentuk. Sedangkan media literacy berupaya memproteksi anak-anak dari apa yang dipersepsi sebagai efek buruk media massa.
Dengan pendekatan yang lebih kritis, media literacy tidak hanya mempelajari segi-segi produksi, tetapi juga mempelajari kemungkinan apa saja yang bisa muncul akibat kekuatan media. Media literacy mengajari publik memanfaatkan media secara kritis dan bijak.
Tujuan dasar literasi media mengajarkan khalayak dan pengguna media untuk menganalisis pesan yang disampaikan oleh media massa, mempertimbangkan tujuan komersil dan politik di balik suatu citra atau pesan media, dan meneliti siapa yang bertanggungjawab atas pesan atau idea yang diimplikasikan oleh pesan atau citra itu. Secara sederhana, media literasi pada dasarnya merupakan kepedulian masyarakat terhadap dampak buruk dari media, khususnya media massa.
Seseorang pengguna media yang mempunyai literasi media atau melek media akan berupaya memberi reaksi dan menilai sesuatu pesan media dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Media literasi menjadikan pengguna media untuk berfikir dengan kritis terhadap idea, produk atau citra yang disampaikan dan dijual oleh isi media massa. Mengintensifkan kesadaran akan media sesungguhnya akan membantu membentuk masyarakat sipil yang terdidik. ***

Jangan Khianati Rakyat !

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Apa yang sebenarnya yang membuat masyarakat memilih seseorang dalam pemilu legislatif nanti ? Pertanyaan ini sangat menggelitik, sekaligus menyita banyak perhatian para calon anggota legislatif (caleg). Karena minimnya pengetahuan tentang hal itu, maka perilaku caleg menjadi aneh-aneh. Para caleg seolah-olah mampu membuat estimasi bahwa apa yang mereka perbuat serta merta akan membuat masyarakat akan tertarik, suka, lalu memilihnya.

Terjemahan dari estimasi tersebut adalah memperbanyak iklan, membagi-bagikan bingkisan, dll. Estimasi tersebut melupakan begitu dinamis nya masyarakat dalam merespon pemilu legislatif kali ini. Dalam beberapa hal, ‘politisi’ sesungguhnya adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat semakin melek politik. Masyarakat tidak ingin semata dijadikan objek dalam pemilu kali ini.

Jika merujuk pada studi perilaku pemilih, maka pertanyaan ini sesungguhnya menyimpan jawaban yang kompleks. Selain sebagai makhluk individual, individu juga merupakan makhluk sosial. Studi-studi psikologis akan membuat penjelasan bahwa pilihan-pilihan seseorang akan sangat dipengaruhi oleh karakter psikologisnya, dalam hal ini adalah kepribadiannya. Pandangan ini sifatnya sangat individual dan internal.

Namun terdapat juga pemikiran bahwa individu sesungguhnya juga mampu berpikir rasional dalam membuat pilihan-pilihannya (rational choice). Pandangan ini untuk mengatasi sementara pandangan bahwa individu sangat emosional ketika membuat pilihan.

Selanjutnya, studi-studi sosiologis lebih banyak merujuk pada kondisi-kondisi struktural kemasyarakatan sebagai determinan bagi individu dalam menentukan pilihannya. Individu sangatlah dinamis. Sejauh kondisi strukturalnya berubah maka individu juga cenderung berubah. Tidak ada pola yang tetap. Jika demikian, maka siapa caleg yang mampu mendeteksi kondisi-kondisi struktural ini maka itu sudah merupakan poin penting untuk menerjemahkannya dalam komunikasi dengan para pemilih.

Namun, sesungguhnya terdapat penjelasan lain untuk memahami fenomena tersebut. Individu juga ternyata adalah pencari makna hidup. Individu membuat kategorisasi terhadap para caleg, mana caleg yang memenuhi ekspektasi mereka. Bukan semata persoalan keinginan karena dorongan kepribadian. Bukan juga semata kondisi struktural. Tapi soal penghindaran atas penghianatan!

Hasil penelitian Litbang Media Group menyebutkan bahwa sebagian besar masyarakat akan memilih caleg yang memiliki integritas, ketimbang empati, maupun kompetensi. Integritas merujuk pada caleg yang bisa dipercaya, empati merujuk pada kemampuan caleg untuk memiliki perasaan senasib dengan masyarakat, sedangkan kompetensi merujuk pada kemampuan caleg dalam menyelesaikan problem-problem di masyarakat. Dari keseluruhan itu integritas menempati isu utama (65%), disusul empati (25%), dan kompetensi (1%) (Metro TV, 12 Februari 2009).

Makna apa yang bisa dipetik dari hasil penelitian tersebut ? Selama ini banyak sekali pemimpin maupun para caleg menawarkan solusi atas persoalan-persoalan masyarakat. Masyarakat justru tidak bergeming. Masyarakat dibujuk bahwa segala persoalan akan selesai jika memilihnya. Para caleg menganggap dirinya seperti panasea. Obat bagi segala persoalan-persoalan masyarakat.

Adapula yang menunjukan ‘prestasi’ yang dianggap telah dicapai, sebagaimana yang dilakukan oleh caleg dari partai yang berkuasa. “Prestasi” itu kemudian menjadi menu bujukan dijalan-jalan dan iklan media massa. Bagi rakyat, “prestasi” itu adalah menu sampingan, menu utamanya adalah kemelaratan dan kemiskinan yang mereka alami.

Masyarakat juga tidak bergeming saat mereka dibanjiri bingkisan oleh para calon. Masyarakat justru bermain-main, karena mereka tidak ingin dibohongi. Kecerdasan ini terkadang luput dari perhatian para politisi. Tapi ini sesungguhnya sehat bagi demokrasi. Dimasa akan datang para politisi semakin cerdas dalam berkomunikasi dengan calon pemilihnya.

Apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat ? Integritas. Mereka yang amanah, bisa dipercaya. Kompetensi tidaklah penting. Bahkan calon pemilih dari kalangan berpendidikan tinggi sekalipun menganggap isu integritas jauh lebih utama (72%). Dikalangan anggota legislatif saat ini cukup banyak orang yang dikenal masyarakat memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat.

Namun, yang terjadi didepan hidung mereka adalah para anggota legislatif tersebut justru mengkhianati para pemilihnya. Kenaikan tunjangan diluar akal sehat, permintaan fasilitas yang berlebihan, wisata dengan alasan studi banding ke luar negeri, korupsi berjamaah, dll. Ini semua ditampilkan ditengah-tengah masyarakat yang tengah terbelit persoalan ekonomi.

Menjadi anggota legislatif justru kemudian dijadikan sebagai ladang mata pencaharian, sekaligus memiliki loby politik untuk mengamankan dirinya dari jerat hukum jika menghadapi masalah. Anggota legislatif kemudian menjadi makhluk yang luar biasa. Ini justru terjadi dengan melakukan penghianatan.

Idealnya, politisi yang diinginkan masyarakat para caleg yang menolak menerima gaji sebagai anggota legislatif, dan mengembalikannya kepada masyarakat. Mereka yang tidak terpana oleh tawaran tahta, harta dan wanita yang kini menjadi persoalan krusial di DPR. Mereka yang bekerja demi kemaslahatan masyarakat. Mereka yang hadir untuk mengemban amanah. Mereka yang tidak punya pretensi untuk menipu rakyat. Karena rakyat ‘ogah’ terkhianati lagi !

Internet...oh...internet...

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

We are living in the age communication” demikian Harold Lasswell, pernah berujar. Apa yang diucapkan pakar komunikasi tersebut realitasnya dapat kita simak dalam kehidupan keseharian manusia pada abad ini. Siapapun, anak-anak sekalipun, saat ini dapat secara mudah menyerap inovasi besar-besaran teknologi yang berbasis elektronik seperti: televisi, sistem seluler yang menawarkan berbagai aplikasi pada hand phone, VCD, dan Internet.

Internet merupakan satu dari sekian bentuk kemajuan teknologi. Internet sudah menjadi kebutuhan harian rumah tangga, hampir semua rumah terkoneksi secara global selama 24 jam dengan harga terjangkau. Era komputer yang menawarkan sistem wireless juga semakin mempermudah seluruh anggota keluarga menggunakan internet dalam waktu bersamaan, dengan pc atau laptop yang berbeda di ruangan berbeda semua bisa saja terjadi, akibatnya akses orang tua untuk mengetahui apa yang dilakukan anak semakin sulit.

Penemuan di bidang teknologi semakin memudahkan seseorang untuk larut dalam kemaksiatan. Sementara di sisi lain, teknologi informasi juga memudahkan seseorang untuk memperoleh manfaatnya, seperti menuntut ilmu dan berkomunikasi untuk lebih mempererat tali ukhuwah imaniyyah. Revolusi teknologi informasi ibarat pisau bermata dua; mencerahkan sekaligus menggelapkan.

Disatu sisi, internet tak luput dari sisi negatif. Bagi anak-anak, diantara sisi negatifnya adalah ‘mengkonsumsi’ games yang menonjolkan unsur-unsur seperti kekerasan dan agresivitas tanpa sepengetahuan orangtua. Banyak pakar pendidikan mensinyalir bahwa games beraroma kekerasan dan agresi ini adalah pemicu munculnya perilaku-perilaku agresif dan sadistis pada diri anak. Selain itu, melalui internet juga bisa mengakses dengan mudah berbagai materi bermuatan seks, kekerasan, dan lain-lain secara terbuka dan tanpa penghalang.

Disisi lain, mengajarkan internet bagi anak, di zaman sekarang merupakan hal penting. Internet sebagai sarana bagi upaya pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia. Jika dimanfaatkan dengan benar, internet dapat menunjang prestasi belajar, karena banyak materi di internet yang bisa membantu pendidikan anak. Internet juga bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan agama mengingat di internet saat ini banyak website bertopik keagamaan.

Melihat kedua sisi mata uang ini, apakah harus menjauhkan anak-anak dari kemajuan dunia tersebut? Tentu jawabannya tidak mungkin, karena arus informasi & teknologi sedemikian pesat takkan mampu dibendung. Melarang anak-anak menggunakan teknologi informasi,khususnya mengakses internet, sama dengan memangkas perkembangan intelektual mereka. Seperti halnya buku, televisi dan internet merupakan pintu gerbang mengetahui ilmu pengetahuan. Kemajuan teknologi bukan satu hal yang perlu ditakuti, karena melalui teknologi pula kita dapat mengambil banyak manfaat, karena kita tidak mungkin hidup tanpa terpengaruh arus teknologi & globalisasi, orang tua memberikan pendidikan, pengawasan & pengarahan yang arif sehingga anak-anak sebagai generasi dapat mengambil manfaat positif teknologi tersebut demi kepentingan masa depan.

Melepas pengaruh negatif internet terhadap anak-anak bisa dilakukan orang tua dengan menjadi orang yang pertama kali memperkenalkan dunia maya (internet) kepada anak-anaknya, bukan orang lain. Sehingga, saat pertama kali bersentuhan dengan internet, yang terpikirkan di benak anak-anak adalah tujuan-tujuan positif saat mengakses internet. Selain itu, juga perlu menggunakan sistem yang dapat memproteksi anak dengan mengunci segala akses yang berbau seks dan kekerasan.

Dalam sebuah ayat, Allah berfirman agar kita menjaga diri sendiri dan keluarga sebelum menjaga orang lain. Firman-nya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan,” (QS at-Tahrim [66]; 6).

Ayat ini harus dijadikan landasan sebagai perintah bagi setiap keluarga, untuk menjaga anak-anak mereka dari dampak negatif perkembangan teknologi informasi. Semua dampak negatif perkembangan teknologi informasi, bisa diminimalisir, bahkan dihilangkan jika peran keluarga berfungsi dengan baik.

Karena itu, di sinilah dituntut “jihad keluarga” untuk meminimalisir atau menghilangkan pengaruh negatif teknologi informasi. Saat ini, para orang tua harus berjihad bagaimana melindungi anak-anak dari pengaruh negatif teknologi informasi. Orang tua harus senantiasa melakukan pembelajaran (learning) terhadap isu-isu yang berkaitan dengan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi, orang tua harus ”melek media” sehingga akan mampu memberikan pengarahan dan pengawasan terhadap anak masing.

Pembelajaran orang tua terhadap anggota keluarganya menuntut keterlibatan mereka untuk masuk lebih jauh kedalam poros kebaikan para users internet. Apa yang saya sebut sebagai ‘poros kebaikan’ ini merujuk pada pengguna internet yang menggunakan medium ini untuk menjalin jaringan sosial global, sehingga dapat dijadikan arena diskursus untuk membangun aliansi kebaikan pada masyarakat global.

Fenomena facebook, blog, dan friendster adalah fenomena terbaik dari konsep pembangunan jaringan global. Melalui facebook, blog dan friendster juga terjadi koalisi gerakan masyarakat sipil diseluruh dunia, melawan kecenderungan rezim-rezim yang melawan HAM dan demokrasi.

Komunikasi, Media Perekat Keluarga

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Apakah yang terjadi dengan anak-anak kita diluar sana ? Mampukah kita menjadi pengawal permanen bagi mereka? Ingatkah bahwa mereka layaknya anak panah yang terlepas liar ketika mereka terbebas dari tembok-tembok rumah dan pelukan ayah bunda? Mereka serta menjadi sosok yang tergantung pada orang-orang disekelilingnya, pertemanan dan budaya media. Orang tua mesti peduli, justru ketika kita tak mampu merengkuh semua wilayah sosial mereka. Mari kita simak sejumlah fakta berikut.

Kasus terbaik untuk menggambarkannya adalah dengan menyimak fakta bahwa narkoba merupakan salah satu ancaman terbesar generasi muda saat ini. Narkoba telah merampas anak-anak kita dari rumah dan masa depan yang mereka impikan. Dari dua juta pecandu narkoba, 90 persen adalah generasi muda, termasuk 25 ribu mahasiswa. Kasus penyalahgunaan narkoba tinggi sejak tahun 2001, 60-70 persen tersangka penyalahguna narkoba yang ditangkap misalnya, kebanyakan berusia 16 sampai 21 tahun dan setengahnya adalah pelajar yang masih aktif bersekolah.

Dari temuan Badan Narkotika Nasional (BNN), data 2006 tercatat 8.449 pengguna dari siswa SD, meningkat lebih dari 300 persen dari tahun 2005 sebanyak 2.542 orang. Pengguna di kalangan siswa sekolah menengah pada tahun 2004 terdapat 18 ribu orang dan naik menjadi 73.253 orang di tahun 2007. Luar biasa!

Membaca kondisi seperti ini, apa yang tengah terjadi dengan keluarga pada masyarakat kita? Keluarga sebagai bagian dari struktur sosial adalah salah satu unsur sosial yang paling awal mendapat dampak dari setiap perubahan sosial budaya.

Peranan keluarga yang paling utama adalah sebagai pembagi kehidupan individu ke dalam tingkat-tingkat peralihan usia (daur ulang) dan dalam rangka pembentukan watak dan perilaku generasi muda agar menjadi bagian dari anggota masyarakat yang terinternalisasi ke dalam keseluruhan sistem nilai budaya yang jadi panutan masyarakatnya.

Di dalam keluarga anak-anak menerima pendidikan yang pertama dan paling utama. Pendidikan yang diterima oleh anak mulai dari pendidikan agama, cara bergaul, dan hubungan interaksi dengan lingkungan. Keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama bagi anak. Dalam lingkungan keluargalah anak mulai mengadakan persepsi, baik mengenai hal-hal yang ada di luar dirinya, maupun mengenai dirinya sendiri.

Pada masa sekarang masalah ketaksiapan orang tua dalam membina anak-anak sering dianggap sebagai pemicu terjadinya masalah-masalah sosial dan kenakalan pada diri anak, karena orang tua dinilai kurang mampu memberi perhatian khusus kepada anak. Interaksi dan komunikasi dalam keluarga (orang tua - anak) kurang tercipta secara dinamis.

Penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa ada pengaruh komunikasi keluarga terhadap kenakalan remaja dimana komunikasi keluarga yang dilakukan secara terus menerus ternyata berpengaruh nyata terhadap kenakalan remaja. Hal ini berarti semakin tinggi komunikasi keluarga maka kenakalannya semakin rendah.(Riset Universitas Muhammadiyah-Yogyakarta)

Situasi di atas sepertinya tidak asing lagi di jaman ini, di mana setiap orang, termasuk orang tua, seolah membangun dunia sendiri yang terpisah dari orang lain, bahkan anggota keluarganya sendiri. Komunikasi keluarga menjadi "barang mahal dan barang langka" karena masing-masing sibuk dengan urusan, pikiran dan perasaannya masing-masing. Akhirnya, komunikasi yang tercipta di dalam keluarga, adalah komunikasi yang sifatnya informatif dan superfisial.

Dalam kepadatan arus informasi yang serba superfisial dan sempitnya "waktu bersama", membuat hubungan antara orang tua - anak semakin berjarak dan semu. Dalam pola hubungan komunikasi seperti ini, tidak heran jika ada orang tua yang kaget melihat anaknya tiba-tiba menunjukkan perilaku menyimpang.

Seringkali orang tua lupa, bahwa setiap masalah adalah hasil dari sebuah interaksi setiap orang yang terlibat di dalamnya. Setiap orang, punya kontribusi dalam mendorong munculnya masalah, termasuk masalah pada anak-anak mereka.

Masalah-masalah yang timbul di dalam kehidupan antar manusia sebenarnya berakar pada kesalahpahaman pengertian dan miskomunikasi. Ketika berkomunikasi seringkali terjadi kesalahan, baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan sosial. Dalam komunikasi akan lebih efektif apabila tercapai saling pemahaman, yaitu pesan yang disampaikan dapat diterima dan dipahami oleh penerima.

Merujuk pendapat Walgito (2004:205) di samping keterbukaan dalam komunikasi, komunikasi di dalam keluarga sebaiknya merupakan komunikasi dua arah, yaitu saling memberi dan saling menerima di antara anggota keluarga. Dengan komunikasi dua arah akan terdapat umpan balik, sehingga dengan demikian akan tercipta komunikasi yang hidup, komunikasi yang dinamis. Dengan komunikasi duah arah, masing-masing pihak akan aktif, dan masing-masing pihak akan dapat memberikan pendapatnya mengenai masalah yang dikomunikasikan.

Komunikasi adalah hal yang sangat esensial dalam membangun keharmonisan dalam keluarga. Jika komunikasi berjalan dengan baik maka permasalahan anak, keharmonisan hubungan dapat diselesaikan dengan lebih mudah. Komunikasi yang lancar seringkali menjadi media efektif untuk menyelesaikan berbagai permasalahan. Boleh jadi kita berbeda pendapat tentang sesuatu hal, tetapi jika itu dikomunikasikan dengan baik, tidak akan terjadi salah persepsi. Kita jadi tahu persoalannya dengan segala alasan yang melatarbelakangi. Maka tidak salah jika komunikasi adalah media perekat keluarga. Dengan demikian, kita mesti percaya bahwa bangsa yang besar dan tangguh, merupakan cerminan utuh wajah-wajah keluarga kita sendiri.

Ibu adalah Perjuangan

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group


Dari Bahzin bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya radiyallohu berkata," Saya berkata kepada rasululloh, ya rasululloh siapakah yang lebih berhak mendapatkan kebaikan, maka rasul menjawab,"Ibumu" maka saya berkata lagi: "Terus siapa lagi?" dia menjawab: "Ibumu", maka saya berkata lagi: "Terus siapa lagi?" dia menjawab "Ibumu", aku berkata lagi,"siapa lagi", dia menjawab "Bapakmu" kemudian kerabat-kerabat dekatmu (Hadist Riwayat Abu Dawudra & Tirmidzi)

Apa makna terdalam dari semua ungkapan tentang Ibu? Ini mengandung makna betapa sesuatu yang tak dapat tergantikan, perhormatan setulus hati. Bakti anak pada ibu, dapat mengantarkan menuju surga. Begitu Islam mentitahkan kepada setiap anak-anak muslim.

Perjuangan ibu sangatlah berat. Satu hal yang perlu kita sadari, keberhasilan generasi baru untuk tampil menjadi pemimpin bangsa banyak tergantung pada sejauhmana keberhasilan Ibu dalam membesarkan, mengasuh dan mendidik mereka.

Wajah atau potret ibu merupakan wajah historis kita. Sebagai Ibu rumah tangga, perempuan karier, dan aktivis menyediakan basis penilaian bagi historisasi ibu. Sosok Ibu Rumah Tangga, mendominasi potret ibu. Ibu Rumah Tangga sering digambarkan sebagai sosok Ibu yang mempunyai perhatian penuh pada anak-anak dan keluarga. Sebuah pengabdian total dari kehidupannya.

Sosok Ibu yang kedua adalah perempuan karir. Perempuan yang lebih sering menyibukkan diri dalam kegiatan profesi, baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Perempuan Karir pada umumnya mempunyai latar belakang pendidikan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan wanita yang cukup puas dengan predikat sebagai Ibu Rumah Tangga. Ia juga dikenal sebagai wanita yang selalu berusaha untuk mematahkan mitos dunia kerja lelaki. Perempuan karier merengsek masuk dalam dunia publik, yang didominasi laki-laki.

Sosok Ibu lainnya adalah Perempuan Aktivis. Perempuan Aktivis ini sangat idealis dan kritis. Ia selalu memposisikan dirinya melalui kegiatan yang bertajuk pemberdayaan masyarakat. Sebagian besar hidupnya memang dipersembahkan untuk memperbaiki nasib kaum perempuan yang tertindas dan teraniaya.

Kita membutuhkan ketiga sosok Ibu tersebut. Mengapa ? Karena sesungguhnya menjadi ibu, berarti ’teken kontrak’ pengabdian luar biasa pada masyarakat. Menjadi Ibu, sesungguhnya sebuah perjuangan, karena jika kita merujuk pada pengertian jihad maka perjuangan bermakna bersungguh-sungguh mengeluarkan tenaga yang ada dalam diri seseorang itu baik tenaga lahirnya maupun batinnya, tenaga akal, tenaga jiwa, tenaga fisiknya, digunakan untuk menegakkan sesuatu yang akan diperjuangkan.

Tantangan Ibu semakin berat di era yang serba kapitalistik ini. Nilai-nilai perjuangan bergeser menjadi semakin rumit, mendidik anak tidak lagi mudah. Kemiskinan semakin membuat ibu harus turut menopang ekonomi keluarga. Jaman serba sulit mengharuskan wanita untuk semakin memperjuangkan hak-haknya di ruang publik.

Lalu, apa yang mesti dilakukan ibu di era kontemporer ini ? Kunci nya adalah kecermerlangan pikiran dalam mensiasati kondisi yang bergerak tanpa arah, atau dalam bahasa Giddens, dunia yang bergerak tunggang langgang (runaway world). Dunia yang bergerak tunggang langgang, adalah dunia sarat nilai, tapi mengalami distorsi orientasi.

Kecemerlangan pikiran juga merupakan basis utama pengenalan ibu terhadap realitas kekinian. Para ibu tidak boleh pernah lupa, seorang ibu mesti menjadi sosok yang historis. Projek modernitas senantiasa membawa individu yang berada didalamnya menjadi mudah lupa. Hal ini menyebabkan individu bukanlah lagi sosok yang otentik pada zamannya. Mengapa ? Karena modernitas menawarkan sangat banyak, namun memberi begitu sedikit. Milan Kundera bertitah: ”lupa itu sebenarnya bukan karena tidak ingat, tapi karena ingat yang lain”.

Melalui kecermerlangan pikiran ibu menjadi figur historis, ibu menjadi mengenali apa yang terbaik bagi pembangunan generasi. Keluarga, dimana ibu berperan sangat besar, merupakan medan persemaian generasi-generasi terbaik. Kembali kepada Kundera, zaman ini menyediakan banyak wajah yang dapat mengalihkan pandangan dan pikiran kita, pada arah yang sudah diniati untuk jalan kebaikan. Kita menjadi ingat yang lain.

Karena itu perjuangan seorang ibu bukanlah lagi semata perjuangan melawan kekerasan, ketertindasan, marginalisasi, dan opresi, tapi lebih dari itu, melawan projek lupa ! Apa jadinya jika seorang ibu terjerat dalam projek lupa ? bagaimana generasi terbentuk dari ibu yang tidak cemerlang, tidak cerdas dan menghabiskan waktunya untuk hal yang sia-sia ?

Ini berarti perjuangan seorang ibu adalah perjuangan intelektual. Premis ini mematahkan semua stereotipe bahwa perempuan semata menawarkan tubuh dalam aktivitas sosialnya. Pembantu rumah tangga, dunia hiburan, dll memang menyajikan potret betapa perempuan hanya dikenali sejauh ia menawarkan tubuhnya.

Kini, dengan melihat ibu, dalam konteks perjuangan intelektual, semakin jelas bahwa peran ibu dalam melawan projek lupa, bagi kepentingan pembangunan generasi menunjukan betapa besarnya peran ibu dalam proses pembangunan peradaban. Bayangkan, sebuah generasi yang mengisi sebuah peradaban yang dibentuk oleh para ibu yang tak pernah lupa, dan tak mau terjerat projek lupa, pastilah para generasi tersebut sangat sadar betul akan masa lampaunya, rasional dalam praksis kekiniannya, sekaligus tepat memformulasi masa depannya. Maka, benarlah kiranya bahwa, ibu adalah perjuangan !

Kami Butuh Tempat Bersua !

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Berkeliling diberbagai kota di Indonesia, terdapat keprihatinan yang dalam. Kota-kota di Indonesia memiliki karakter yang sama, yaitu penihilan ruang publik. Keberadaan ruang-ruang publik tersebut di Indonesia lama kelamaan diabaikan oleh pembuat dan pelaksana kebijakan tata ruang wilayah sehingga ruang yang sangat penting ini lama-kelamaan semakin berkurang. Ruang-ruang publik tersebut yang selama ini menjadi tempat warga melakukan interaksi, baik sosial, politik maupun kebudayaan tanpa dipungut biaya, seperti lapangan olah raga, taman kota, arena wisata, arena kesenian, dan lain sebagainya lama-kelamaan menghilang digantikan oleh mall, pusat-pusat perbelanjaan, ruko-ruko dan ruang-ruang bersifat privat lainnya.

Mall atau pusat-pusat perbelanjaan tidak akan pernah dapat benar-benar menjadi ruang publik meski dewasa ini tempat-tempat tersebut sering dijadikan sebagai lokasi bertemu, bertukar informasi, atau sekedar tempat rekreasi melepas kepenatan seusai menghadapi berbagai rutinitas pekerjaan. Karena meskipun terbuka untuk umum, mall tetap menampilkan wajah yang privat dimana di dalamnya orang yang ada di sana cenderung berasal dari kalangan ekonomi tertentu. Tidak adanya kontak dan interaksi sosial sebagai prasyarat bagi penguatan kapital sosial merupakan alasan utama mengapa ruang publik tidak dapat tergantikan oleh mall atau pusat perbelanjaan

Ruang publik di negara-negara maju sudah menjadi kebutuhan. Namun yang terjadi di berbagai kota Indonesia, ruang publik lebih merupakan ruang-ruang sisa. Menariknya, ruang publik yang sangat terbatas ini sangat sarat dengan kepentingan. Kepentingan yang bermain di ruang itu tidak hanya yang berskala besar/kapital, tetapi juga kepentingan yang bersifat lokal, seperti PKL. Hanya sayangnya, berbagai kepentingan yang muncul di ruang publik itu kemudian cenderung memunculkan usaha-usaha ‘pengklaiman’ atas wilayah di ruang publik, misalnya wilayah berjualan para PKL. Akibatnya, ruang publik pun berubah menjadi ruang semi privat; ada aktivitas privat di ruang publik.

APA ITU RUANG PUBLIK ?

Ruang publik dapat didefiniskan sebagai segala ruang di dalam kota yang tidak tertutup bangunan atau merupakan ruang bersama yang dapat dimanfaatkan oleh publik. Karakter ruang publik sendiri adalah bisa mewadahi beragam aktivitas dan bisa pula diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Ruang publik sendiri adalah ruang yang dikelola secara terpadu dengan tetap memperhatikan peran masyarakat dalam pengelolaannya. Satu hal lagi yang cukup penting, ruang publik kota bisa berperan memberikan identitas suatu kota.

Ruang publik menjadi penting karena memiliki berbagai peran strategis.Sedikitnya ada lima fungsi ruang publik. Fungsi sosial adalah fungsi pertama ruang publik, yaitu menyediakan tempat bagi interaksi dan aktivitas sosial masyarakat, serta kebutuhan rekreasi. Kedua, fungsi ekonomi yang memberikan tempat bagi aktivitas ekonomi masyarakat, misalnya tempat bagi aktivitas ekonomi lokal (PKL) hingga pameran. Ketiga, fungsi lingkungan yang menyediakan tempat bagi siklus hidrologi kawasan, iklim mikro, dan habitat satwa (secara luas). Keempat, fungsi budaya yang mewadahi beragam aktivitas budaya masyarakat, seperti pentas seni, prosesi budaya, hingga pembentukan identitas kota. Fungsi ruang publik yang terakhir adalah fungsi estetikanya yang berperan memperindah lansekap kota.

Dengan fungsi-fungsi tersebut, nampak sekali bahwa ruang publik dapat memenuhi semua kepentingan sosial, ekonomi, budaya dan politik warga. Ruang publik menjadi medan bersua warga kota. Berbagi rasa dan harapan.

Dengan demikian, secara umum ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis dan bermakna. Responsif dalam arti ruang publik harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Sementara demokratis berarti ruang publik seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Dan terakhir, bermakna yang berarti ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dunia luas, dan konteks sosial.

URGENSI BAGI TASIK DAN GARUT

Sebagaimana kota-kota lain di Indonesia, Kota Tasik dan Garut mesti melayani warga nya memiliki kembali ruang publik yang telah berangsur-angsur hilang. Saat ini Kota Tasik dan Garut bak ruang pasar yang besar. Hampir semua sisi kota telah dipadati oleh aktivitas ekonomi. Ini mencerminkan sisi konsumtif warga yang terkondisi oleh ruang kota yang tak ramah sebagai tempat bersua, tanpa harus membeli atau menjual.

Selain memuaskan dahaga secara sosial, memuaskan dahaga untuk bersua. Urgensi ruang publik di Tasik dan Garut juga mesti memuaskan dahaga warga sebagai makhluk yang butuh makna hidup, manusia yang berbudaya. Manusia yang menghargai kehidupan. Manusia yang juga menghargai tradisi dan masa lalu. Ruang publik juga mesti didekatkan dengan ingatan kolektif dan sejarah kota. Cagar budaya mesti dipelihara, karena lewat cagar budaya lah warga akan menghargai masa lalunya.

Ruang publik di Kota Tasik dan Garut juga mesti menyediakan ruang protes dan kritik ketidakpuasan. Tempat warga mengekspresikan kegalauan atas kebijakan yang tidak diinginkan. Ruang publik yang diniati seperti ini akan memberi legitimasi kuat bagi pemerintah kota, karena menyadari bahwa mereka sangat mungkin berbuat salah. Karena itu protes adalah niscaya.

*Tulisan ini didedikasikan buat para budayawan, seniman, politisi, akademisi yang membutuhkan ruang publik sebagai medan ekspresi, protes dan intelektualitas. Semoga!