Minggu, 01 Maret 2009

Krisis Komunikasi Politik

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Dalam esai-esainya yang cerdas, Jurgen Habermas menyatakan, maraknya berbagai bentuk unjuk rasa dalam masyarakat kontemporer, mengisyaratkan terjadinya krisis sosiokultural yang menuju krisis solidaritas sosial. Karena itu, filsuf Jerman ini menekankan perlunya dibangun kembali etika komunikasi, yakni suatu kondisi komunikasi yang menjamin sifat umum norma-norma yang dapat diterima dan menjamin otonomi warga melalui kemampuan emansipatoris, sehingga menghasilkan proses pembentukan kehendak bersama lewat perbincangan.

Ide inilah yang semestinya menjadi dasar diskursus politik menjelang perjelatan besar lima tahunan, pemilu 2009. Hal ini karena sangat lazim atmosfir komunikasi politik dimasa-masa tersebut diisi oleh tipu muslihat pengetahuan publik, bias media, dan pengelolaan citra yang berlebihan. Tentu saja ini cenderung dilakukan oleh aktor yang memiliki kelebihan sumber daya, baik ekonomi maupun politik. Mencermati isi televisi saat ini, masyarakat disuguhi kepercayaan bahwa semua telah berjalan sesuai rencana, kehidupan menjadi lebih baik, bahwa masa kini adalah perbaikan besar-besaran atas kegagalan rezim masa lalu.

Suguhan tersebut, dengan terang benderang telah melecehkan kemampuan masyarakat untuk memahami keadaan historis mereka sendiri. Masyarakat divonis ’amnesia’, bahkan mengalami sindrom harus mencintai pelaku kekerasan yang melukainya. Bahwa masyarakat mengalami penurunan kualitas hidup karena buruknya pelayanan publik sebagai akibat langsung dari kebijakan negara, menjadi barang langka dalam komunikasi politik pemerintah.

Pengambil kebijakan justru menyibukkan diri dengan upaya mengambil hati rakyat. Polah menjadi seperti pesolek. Perspektif ini mengadopsi habis kultur media sebagai media representasi. Departemen-departemen menjadi langganan setia media. Singkatnya, jika depertemen anda ingin dikatakan berhasil dalam menjalankan program-program, maka beriklanlah di media massa, katakan semua pencapaian, bahkan disaat rakyat kebanyakan pun tidak merasakan hasilnya.

Hal lain yang lebih menakutkan adalah dikotomi pemenang dan pecundang. Mengingat dalam setiap pertarungan, pemenang hanya satu, yang lainnya adalah lawannya. Dan lawan harus menjadi pecundang. Masyarakat dipaksa mendekonstruksi semua atribut dan sentiment pemenang yang melekat pada diri sang pecundang. Apa hasilnya ? Masyarakat berkelahi. Masyarakat semata menjadi instrumen politik yang dihadirkan pada saat pemilu. Karena masyarakat penting dalam konteks tawar menawar politik. Terutama masyarakat yang marah.

Masyarakat yang marah dalam beberapa hal memang berhasil menimbulkan demokrasi, sebagai contoh peristiwa Mei 98. Namun sedikit bukti bahwa demokrasi tumbuh sehat dari masyarakat yang penuh curiga dan mengembangkan kemarahan karena eksploitasi sentiment dan atribut-atribut irrasional. Masyarakat yang marah, apalagi masyarakat yang saling bertikai, justru sebaliknya, berpotensi menghancurkan pencapaian-pencapaian dan pembangunan demokrasi.

Oleh karena itu, didasari oleh pengalaman pilkada akhir-akhir ini, misalnya, dibutuhkan usaha-usaha penyadaran pada tingkat elit, akan pentingnya mengembangkan demokrasi yang didasari oleh pilihan-pilihan etis, rasional dan objektif. Elit harus menyadari sepenuhnya bahwa dukungan emosional, juga akan berbuntut pada resistensi emosional, sesaat ketika hati publik tidak berkenaan terhadapnya. Sebaliknya jika dukungan bersifat rasional, maka segala kebijakan yang diambil saat ia menang akan senantiasa dicermati secara rasional dan objektif pula. Karena rasionalitas lebih stabil ketimbang irrasionalitas.

Komunikasi sesungguhnya layaknya perekat sosial (social glue). Fungsinya membangun harmoni sosial dalam kondisi, kesetaraan, sukarela dan tanpa tekanan. Intinya komunikasi merupakan pra syarat penghargaan terhadap manusia. Islam sangat familiar dengan gagasan semacam ini. Berkaitan dengan konsep tauhid, misalnya, Islam sangat memperhitungkan: adanya tujuan dalam penciptaan makhluk, dan; memerdekakan dan membebaskan manusia dari perbudakan dan penghambaan pada berbagai kekuatan di luar Tuhan.

Oleh karena itu, demi tegaknya pandangan ini maka diperlukan pengabdian sepenuhnya pada Tuhan dan hal tersebut berarti menolak setiap jenis kekuasaan intelektual, budaya, politik, ekonomi, dll, yang merendahkan manusia. Artinya, semakin jelas bahwa komunikasi politik yang berangkat dari prinsip-prinsip tauhid adalah komunikasi penuh kepedulian untuk mengangkat martabat manusia pada tempat yang paling layak. Penghargaan sepenuh hati, pengakuan kedaulatan dan melawan setiap jenis usaha untuk merendahkannya.

Inilah yang ingin dikatakan Habermas pada uraian pembuka, bahwa perlu dibangun kembali etika komunikasi, yakni suatu kondisi komunikasi yang menjamin sifat umum norma-norma yang dapat diterima dan menjamin otonomi warga melalui kemampuan emansipatoris, sehingga menghasilkan proses pembentukan kehendak bersama lewat diskursus.

Disisi ini, masyarakat bukanlah pengagum para pesolek. Masyarakat bukanlah sasaran kampanye. Masyarakat adalah partner emansipatoris. Masyarakat bukanlah peminta-minta. Namun, mereka adalah pionir, aktor, para inisiator, minimal untuk kebutuhan survival mereka sendiri. Masyarakat adalah pelaku komunikasi publik, dan darinyalah para elit mestinya belajar memahami dan berempati. Elit mesti mampu mengekstraksi kehendak publik. Berbeda dengan elit yang memiliki tendensi manipulatif. Publik sulit berbohong, karena mereka agregat dari kepentingan orang banyak.

Dengan demikian setiap kebijakan benar-benar merupakan ’kehendak bersama’, bukan semata kehendak elit. Karena itu, menjadi pendengar aktif suara publik, yang berbicara dalam semua lini dari komunikasi publik, merupakan salah satu bentuk kecerdasan politis, sekaligus ciri kepribadian demokratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar