Minggu, 01 Maret 2009

Pendidikan Berbasis Spiritual

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group


Hidup bermakna diperoleh dengan jalan
merealisasikan tiga nilai kehidupan,
yaitu nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan,
dan nilai-nilai bersikap
(Victor Frankl)

Apa yang dinyatakan oleh Frankl tersebut merupakan intisari dari pendidikan berbasis spiritual. Ini menjadi dasar perburuannya atas makna hidup setelah empat tahun ia menjadi tahanan Nazi. Baginya hidup adalah ikhtiar untuk hidup lebih bermakna dengan mengembangkan kreatifitas, penghayatan dan sikap.

Pendidikan berbasis spiritual dalam rangka membangun karakter bangsa yang beriman kuat. Ini memiliki makna yang penting, mengingat pada saat ini dirasakan semakin melemahnya ikatan dan komitmen emosional dan fungsional warga negara terhadap tanah airnya. Membangun komitmen spiritual warganegara terhadap negaranya diharapkan merupakan kunci solusi bagi upaya kebangkitan bangsa yang lebih hakiki, komitmen spiritual akan melahirkan semangat dan keihlasan warganegara untuk lebih suka memberi daripada berfikir apa yang harus didapatkan dari negri ini.

Berkaitan dengan pentingnya spiritualisasi wawasan pendidikan, Syarif Bastaman Center (SBC), telah mengimplementasikannya melalui pelatihan pengembangan diri berbasis spiritual bagi komponen strategis di bidang pendidikan yaitu para Guru di Tasikmalaya. Melalui Syarif Bastaman Foundation (SBF) telah mengajak kalangan muda dan akademisi komunikasi di Garut untuk melek dengan dunia kerja di bidang penyiaran (broadcasting). Tentu saja semua ini dilandasi oleh semangat profetis. Untuk meningkatkan manfaat pendidikan tidak semata domain intelektualnya (kognitif) semata tetapi juga praksis nya.

Pendidikan berbasis spiritual diperlukan, mengingat abad ke‑21 dan semakin kuatnya globalisasi menuju tatanan dunia baru, sering disebut juga sebagai "abad ruhaniah" atau era spiritual, yang mempersaksikan tingkat kegairahan baru umat manusia dalam meyakini dan mengamalkan agama, sebagai muara keseimbangan hidup manusia antara yang material dan spiritual. Pembangunan karakter bangsa melalui spiritual building, merupakan langkah strategis, hal ini sejalan dengan hasil kajian Harvard Business School, (2002) yang menyatakan bahwa spiritualitas mampu menghasilkan lima hal. yakni, (1) integritas atau kejujuran,(2) energi atau semangat, (3) inspirasi atau ide dan inisiatif, (4) wisdom atau bijaksana serta (5), keberanian dalam mengambil keputusan. Dan hasil kajian selanjutnya menyatakan, bahwa spiritualitas mampu membawa seseorang pada keberhasilan secara hakiki.

Namun pada sisi yang lain menurut Toffler, pada era global manusia akan mengalami objektivikasi dalam berbagai segi kehidupan, sehingga manusia akan menjadi The Modular‑Man. Manusia yang terdiri atas komponen-­komponen bendawi seperti mesin, yang berhubungan secara organik tanpa berusaha saling mengenal dan memahami, dan akhirnya dapat dibuang seperti sampah atau barang bekas (disposible). Gambaran Toffler, akan berkembangnya individualisme, pragmatisme dan materialisme, sebagai ekses era global dapat kita rasakan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita, termasuk kehidupan masyarakat desa kita, yang sudah bersinggungan dengan perkembangan teknologi informasi dan transportasi. Mulai lunturnya semangat kebersamaan, menguatnya individualisme dan konflik serta dan mulai terkikisnya nilai-nilai kearifan lokal oleh budaya kosmopolitan.Yang potensial dapat menggangu mimpi indah bersama dalam wadah Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI), menjadi mimpi buruk yang melelahkan penuh konflik kepentingan, amarah dan pertumpahan darah meski oleh hal-hal yang sepele kerena kerasnya problematika kehidupan yang terjadi saat ini.

Situasi krisis multi dimensi yang tidak mudah diselesaikan, diperparah oleh adanya tantangan ekternal yang ditandai oleh adanya hegemonisasi, atau penguasaan asset bangsa secara politis maupun ekonomi oleh Negara yang lebih kuat, lembaga Internasional maupun oleh perusahaan Internasional (multinational incorporated) yang sangat potensial mampu menggoyahkan kedaulatan, kehormatan dan bahkan eksisitensi bangsa dan Negara. Sesuai hukum alam kalau ketahanan bangsa, lebih rendah dari tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan yang dihadapi maka berbahayalah kondisi NKRI yang potensial tenggelam tinggal nama, seperti Sriwijaya dan Majapahit.

Menurut Ary Ginanjar, permasalahan bangsa yang terjadi, sebagai akibat dari krisis manusia yang sudah tidak mengenal lagi diri dan Tuhannya, sehingga korupsi sudah merasuk hingga level yang paling bawah. Lebih lanjut Ary, mengatakan masalah korupsi, merupakan masalah moral bangsa, hal tersebut terjadi karena pelaku korupsi dan KKN pada umumnya meragukan keberadaan Tuhannya, dan tidak lagi memikirkan tanggung jawab apa yang akan ia berikan ketika hari kematian menjemputnya.

Adanya kontradiksi tersebut menunjukkan bahwa proses pendidikan yang dilaksanakan selama ini belum mampu secara optimal untuk membimbing peserta didik untuk mampu mengenal diri dan Tuhannya, dalam melakukan “inner journey” dalam menemukan nilai terdalam dalam dimensi spiritual manusia, yang disebut “God conciousness” atau nilai imani yang kemudian menjadi bagian dari sistim nilai yang dimiliki setiap peserta didik sebagai pedoman kehidupan yang sesungguhnya yang senantiasa terkait dengan dimensi spiritual. Maka model pelatihan berbasis spiritual, yang mampu memadukan kecerdasan emosional dan spiritual dalam mewujudkan spiritual binding, atau ikatan spiritual terhadap komponen strategis bangsa adalah langkah strategis dalam mewujudkan karakter bangsa yang unggul.

Karakter bangsa perlu dibangun dan dipelihara melalui pendidikan untuk meningkatkan dan memelihara nation and character building, yang sejak kemerdekaan menjadi agenda penting yang harus terus dibina dan ditumbuhkan oleh para pendiri bangsa. Bung Karno, membangun rasa kebangsaan dengan membangkitkan sentimen nasionalisme yang menggerakkan “suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa”. Bagi Bung Karno, keinginan hidup menjadi satu bangsa itu dasarnya bukan nasionalisme sempit.

Dengan demikian, Bung Karno secara tegas menolak nasionalisme sempit (chauvinisme) yang ia anggap sebagai bentuk “assyabiyah yang dikutuk Allah.” Menurut sosiolog, Imam B. Prasojo, mengutip pandangan John Obert Voll, walaupun doktrin nasionalisme Bung Karno ini lebih diilhami oleh sumber-sumber sekuler sehingga kurang tersentuh oleh nilai-nilai transcendental, namun semangat Bung Karno yang anti-nasionalisme sempit itu sebenarnya sejajar dengan doktrin tauhid dalam Islam. Dalam kajian sosiologis, doktrin tauhid (shahadah) La ilaha illa ‘Llah, Muhammad ur-Rasul al-Lah (tiada Tuhan selain Allah, Muhammad rasul Allah) dilihat sebagai bentuk manifestasi penolakan tegas terhadap segala bentuk loyalitas kelompok dan pemimpin yang semata-mata bertumpu pada ikatan-ikatan primordial.

Komitmen spiritual adalah pondasi kokoh, bagi warganegara untuk senantiasa memiliki semangat memberi yang terbaik kepada bangsa dan negaranya secara ihlas. Karena spiritualitas yang dimiliki oleh setiap warganegara akan melahirkan energi untuk mengabdi secara tulus, energi untuk bangkit dari keterpurukan, energi untuk jujur, energi untuk bertanggungjawab, energi untuk peduli, yang merupakan karakter unggul yang semestinya dimiliki oleh setiap warganegara yang didasari iman yang kuat, yang diharapkan mampu menahan godaan duniawi yang menyesatkan.

*Tulisan ini dipersembahkan bagi kalangan pendidik, seniman, budayawan dan intelektual Garut dan Tasikmalaya atas pengorbanan tak kenal lelah dalam membangun horison dan pencerahan, memberi pintu masuk bagi kekayaan makna hidup, serta peduli pada pembangunan karakter bangsa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar