Minggu, 01 Maret 2009

Gaza: Don't Cry For Me!

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

"Perlawanan (melawan Israel) adalah benar...
bersabarlah dan tabah.
Kemenangan akan datang,"
(Khaled Meshaal)

Hampir empat dasawarsa yang lalu, seorang humanis yang cerdas bernama Dom Helder Camara, menulis sebuah buku fenomenal yang menginspirasi banyak orang perihal kekerasan sebagai sebuah gejala modernitas (Spiral of violence, Sheed and Ward, London 1971). Ia melahirkan sebuah pandangan perihal adanya spiral kekerasan (spiral of violence) dalam relasi kekuasaan yang tak berujung.

Camara adalah seorang pejuang kemanusiaan dan perdamaian yang bisa disejajarkan dengan Mahatma Gandhi atau Martin Luther King Jr. Ia senantiasa menyerukan kepada semua umat untuk bersatu dan menyatukan visi demi melawan musuh nyata ketidakadilan. Teori spiral kekerasan dihasilkannya dari pengalaman hidup sebagai pemuka agama, pekerja sosial, dan aktivis perdamaian. Hidupnya membuahkan teori tentang kekerasan yang orisinil, tajam, dan berakar pada realitas hidup. Teori ini menjelaskan bekerjanya tiga bentuk kekerasan personal, institusional, dan struktural, yang bisa berupa ketidakadilan, kerusuhan sosial, dan represi negara. Ketika kekerasan susul-menyusul silih berganti, dunia jatuh ke dalam spiral kekerasan.

Spiral kekerasan merupakan penjelasan atas bekerjanya tiga bentuk kekerasan yang bersifat personal, institusional dan struktural. Kekerasan melahirkan manifestasi ketidakadilan, memicu perlawanan dan menimbulkan represi yang juga melahirkan kekerasan baru. Menurut. Camara seorang humanis, meyakini perdamaian dan keadilan tidak bisa diraih selama kekerasan masih terus terjadi. Apalagi kekerasan merupakan realitas multidimensi dan penuh kompleksitas, tidak bisa dipisahkan keterkaitan kekerasan satu dengan yang lainnya. Dari ketiga bentuk kekerasan itu yang paling mendasar dan menjadi sumber kekerasan adalah ketidakadilan ”penindasan”. Ditegaskan Camara, ketidakadilan merupakan kekerasan nomor 1 yang bisa menimpa gejala pada perseorangan, kelompok, maupun negara, yang diakibatkan oleh bekerjanya ketidakadilan.

*****

Gaza, adalah cerita pilu. Tidak kurang Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Senin (12/1), dengan perbandingan suara 33 setuju, 1 menolak, dan 13 abstain, mengeluarkan sebuah resolusi mengenai pelanggaran berat HAM terkait dengan operasi militer Israel terhadap wilayah pendudukan Jalur Gaza.Resolusi Dewan HAM PBB itu mengecam keras ofensif militer Israel di Gaza dan menegaskan bahwa serangan itu telah menimbulkan pelanggaran masif terhadap hak asasi rakyat Palestina. Resolusi itu juga menilai Israel secara sistematis menghancurkan infrastruktur Palestina dan menjadikan warga sipil serta fasilitas medis sebagai target serangan.

Disinilah kita bisa melihat Gaza dalam lensa Camara. Kekerasan tidak akan pernah berhenti. Kekerasan pada akhirnya akan melahirkan kekerasan yang baru. Rakyat Palestina adalah symbol nyata sebuah perlawanan. Perlawanan tak kenal lelah. Beberapa analis yang mengikuti perspektif Israel meyakini bahwa kekerasan militer pembumi hangusan yang dilakukan Israel akan berujung pada lumpuhnya perlawanan Hamas. Lalu apa kata pemimpin Hamas ? "Perlawanan (melawan Israel) adalah benar... bersabarlah dan tabah. Kemenangan akan datang," kata Pemimpin Biro Politik Hamas Khaled Meshaal kepada 1,5 juta warga di wilayah itu.

Ini cukup untuk menunjukan indikasi bahwa kekerasan sulit untuk berakhir. Hal yang sangat mungkin terjadi adalah Hamas justru akan semakin kuat. Dukungan moril secara global menunjukan bahwa kekerasan brutal Israel adalah sebuah kekeliruan besar. Budaya global sesungguhnya telah terbentuk sebagai cinta damai. Amerika dan Israel, sekutunya, justru adalah pengagum sekaligus pencinta kekerasan. Buya Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhamadiyah, bahkan mengatakan bahwa Amerika adalah imperialis kesiangan. Disaat negara-negara Eropa telah tobat, Amerika muncul belakangan melahirkan pola-pola usang imperialis. Anehnya justru berbarengan dengan retorika gombal sebagai promotor utama demokrasi.

Dalam konteks Gaza, baik AS maupun Israel telah mengalami penurunan mental, mengingat kekuatan untuk menggertak (power of detterence) mereka yang mulai diragukan. Kemampuan ini semakin terkikis dengan ketidakjelasan tujuan serangan AS di Irak maupun saat Hezbollah di Lebanon selatan mampu bertahan dari gempuran Israel. Seperti halnya Hezbollah, Hamas akan menyatakan dirinya menang. Hamas menunjukkan diri mampu bertahan menghadapi gempuran langsung dari kekuatan militer yang jauh lebih besar. Apakah ujung dari perostiwa ini ? Hikmah apa yang dapat diambil masyarakat dunia atas tindakan membabi buta Israel tersebut ?

Implikasi terbesar dari peristiwa ini bisa jadi merupakan kabar gembira, kado awal tahun bagi muslim dunia. Inilah petunjuk bahwa kekerasan kehilangan raison d’etre nya. Masyarakat global menjadi semakin melek bahwa apa yang dituding sebagai terorisme muslim sebenarnya hanyalah akibat dari ketidakadilan yang menimpa muslim dalam sejarah era modern. Bekal jihad dan perlawanan terhadap ketidakadilan menempati porsi terbesar relasi masyarakat muslim dunia dengan kekuatan-kekuatan utama dunia. Jihad semakin mengerucut pada makna nya yang substansial, perlawanan terhadap ketidakadilan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar