Minggu, 01 Maret 2009

Mencari Kepribadian yang Demokratis

MENCARI KEPRIBADIAN YANG DEMOKRATIS

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Pemilu 2009, boleh jadi menjadi salah satu arena kontestasi politik yang menarik sepanjang sejarah modern Indonesia. Bukan saja karena begitu banyaknya partai politik yang turut bersaing, tapi juga karena begitu terbukanya kontestasi tersebut ditampilkan didepan publik. Media menyajikan dengan sangat transparan, siapa yang sesungguhnya layak menjadi pemimpin, dan masyarakat menilainya dengan harap-harap cemas. Semua orang berharap tidak akan salah pilih.

Salah satu kesimpulan penting kajian-kajian mengenai demokrasi dan demokratisasi mengatakan peran para pemimpin atau elit nasional sangat besar dalam proses-proses transisi dari rejim otoriter. Kesimpulan ini cukup tegas diungkapkan para peneliti transisi ke demokrasi sejak tahun 1970-an. Guillermo O’Donnel dan Philippe Schmitter, misalnya, dalam Transitions from Authoritarian Rule. Tentative Conclusions about Uncertain Democracies (1986: 19, 48) menegaskan bahwa "elite dispositions, calculations and pacts … largely determine whether or not an opening will occur at all." Ini tampak dari istilah-istilah yang digunakan, seperti "pakta elit" atau kesepakatan yang dicapai elit yang bersaing satu sama lain, "transaksi" atau kesepakatan antara pemimpin yang berasal dari rejim lama yang membelot dan memihak demokratisasi.

Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kutipan diatas? Wacana tentang demokrasi (dan kegagalan pelaksanaan demokrasi) hampir selalu memusatkan perhatian pada struktur ataupun lembaga-lembaga politik suatu negara: lembaga-lembaga perwakilan, eksekutif, partai politik dan lain-lain. Hanya sedikit, jika ada (Alexis de Tocquiville, John Stuart Mill, John Dewey, C. B. Macpherson dan Carole Pateman, misalnya), yang memberikan perhatian kepada karakter atau personalitas dalam pelaksanaan demokrasi (democratic personality).

Mengapa ? Karena kita selalu melihat demokrasi sebagai sistem, dengan pemerintahan oleh hukum, dan bukan orang. Karakter personal seringkali justru dikaitkan dengan otoritarianisme. Hitler, misalnya merupakan representasi utama bagaimana personalitas dikelola justru untuk mengembangkan otoritarianisme. Implikasinya, personalitas justru dicurigai. Dengan demikian, setiap demokrasi yang gagal, senantiasa ditelisik dari karakter personal pemimpinnya. Padahal sesungguhnya, salah satu pra syarat demokrasi adalah hadirnya personalitas yang demokratis.

MANUSIA DAN FREE WILL

Manusia sesungguhnya memiliki kehendak bebas (free will). Manusia autonom dan membangun tanggung jawab moral atas tindakan-tindakannya. Manusia membentuk negara sebagai usaha perlindungan bersama terhadap pemangsaan oleh bangsa atau negara lain, serta untuk kepentingan bersama pada peringkat nasional yang tak dapat diserahkan begitu saja kepada alam atau pasar. Untuk itu semua manusia bertanggung jawab.

Demokrasi memberi jalan untuk menyatakan tanggung jawab tersebut dengan cara melakukan pengawasan, pengusulan, dan pembatasan autoritas pemerintah. Demokrasi mengatur pula cara membantu pemerintah, agar dapat menjalankan tugasnya dengan memperhatikan keadilan, persamaan dan kesejahteraan (Jakob, 2000).

Ada yang berpendapat bahwa manusia harus makan dulu sebelum berpikir, modernisasi ekonomis dulu baru demokratisasi politis. Akan tetapi kita lihat, bahwa manusia harus berpikir dulu untuk mencari makan, dan pembangunan ekonomi tidak mesti menuju demokratisasi. Namun demikian, kiranya benar bahwa warga negara yang cerdas dan terdidik dengan baik dapat lebih memanfaatkan demokrasi. Dalam hal ini, pembangunan kepribadian memegang peranan krusial. Ini semua mengindikasikan demokrasi membutuhkan kepribadian yang demokratis

MENDENGAR AKTIF

Demokrasi mengasumsikan partisipasi aktif dari para pelaku (agent) demokrasi (individu). Para pelaku demokrasi ini bukanlah individu-individu yang terisolir, yang berada di luar konteks sosial. Sebaliknya, individu-individu berasosiasi/berhubungan dengan individu-individu yang lain secara bebas. Tujuan dari asosiasi/hubungan antar individu adalah untuk mencapai keputusan ataupun bertindak bersama dalam kaitannya dengan hal-hal yang menyangkut kepentingan ataupun kebutuhan bersama.

Intinya adalah relasi. Relasi mensyaratkan proses transaksional diantara partisipannya. Semua pihak harus menanamkan empati, dan kesediaan untuk mendengarkan orang lain. Jika demikian, maka membangun perspektif yang baik tentang masyarakat mesti didasari oleh kesediaan untuk menghargai pendapat, keyakinan dan tuntutan pihak lain. Semuanya ini bisa diperoleh dengan mendengar secara aktif.

Mendengar aktif menggambarkan sikap pikiran yang terbuka (open-minded), yakni kesediaan untuk memperhatikan pandangan dan kepentingan yang lain secara serius. Kesediaan untuk mendengar memang bukan sikap yang mudah untuk dilakukan. Banyak kasus menunjukkan bahwa orang lebih suka untuk didengar daripada mendengar (personalitas yang otoriter) pemaksaan pikiran kepada orang lain.

Di samping itu, untuk menjadi pendengar aktif memerlukan rasionalitas yang cukup memadai karena mendengar aktif bukan menuntut kita mau mendengarkan, tetapi yang lebih penting adalah memahami secara komprehensif berbagai pandangan alternatif beserta kerangka pemikiran yang mendasarinya.

Hanya dengan dasar pemahaman yang komprehensif terhadap pendapat orang lain inilah kita bisa bersikap kritis maupun apresiatif terhadap alternatif-alternatif yang ditawarkan, yang dalam banyak hal, mungkin benar. Dalam konteks demokrasi, tuntutan untuk menjadi pendengar aktif sebenarnya jauh lebih esensial daripada tuntutan formal yang mendasarkan keputusan semata-mata pada angka. Sangat ironis, misalnya, jika menuntut demokrasi tanpa memperhatikan pemikiran/pendapat yang berbeda, sekalipun hanya disuarakan oleh satu orang (Sugiono, 1997).

Namun demikian, tidak ada jaminan bahwa kehadiran kepribadian demokratis, seperti bersedia mendengar dengan seksama dan empati, akan serta merta menentukan arah demokrasi. Sebagaimana Giddens, yang meyakini bahwa individu sebagai agen sesungguhnya memerlukan konteks struktural bagi praksis sosialnya. Dengan kata lain, konteks sistem yang demokratis adalah masyarakat yang juga menjunjung penuh prinsip-prinsip kesetaraan, kebebasan dan persaudaraan antar sesama. Pada sisi inilah, konteks mendengar dengan aktif mendapatkan perannya. Disisi lain, masyarakat yang demokratis, mesti dikelola dengan sistem yang mengatur kepentingan yang adil diantara warga negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar