Minggu, 01 Maret 2009

Jauhi Politisi Kutu Loncat !

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Demokratisasi di Indonesia telah menyediakan ruang yang cukup besar bagi ekspresi politik warga negara. Partai-partai bermunculan bagai jamur di musim hujan. Gejala ini sangatlah menggembirakan. Gejala ini sangat diperlukan untuk mengisi masa ephoria demokrasi. Ephoria bukanlah sesuatu yang negatif. Setiap masyarakat memang mengalami gejala kelewat batas jika kebebasan dirasakan sebagai ujung dari pengekangan. Anggap saja ephoria layaknya sebuah pesta. Pesta untuk merayakan kebebasan.

Menjamurnya partai politik di masa eforia ini juga mesti dilihat sebagai hal yang normal. Karena lewat partai politiklah sesungguhnya warga negara menyalurkan ‘libido’ ekspresi dan tuntutan-tuntutan politisnya. Berbagai macam problem yang terjadi ditingkat masyarakat mesti mendapatkan solusi real pada tingkat politis. Khalayak umum sangat paham bahwa solusi tidak selamanya terjadi ditingkat teknokratis di pemerintahan, tapi seringkali menemukan jalan keluarnya di level politik.

Hal inilah yang membuat banyak warga negara menemukan jalan lain selain kemampuan pragmatis solusi teknokratis. Warga negara semakin pandai dalam berpolitik. Namun demikian kemampuan berpolitik seringkali justru disalurkan bukan untuk kepentingan warga negara sendiri, tapi justru untuk kepentingan kekuasaan. Kepentingan kekuasaan sangat kental dalam pendirian partai-partai politik.

Pada praktiknya dapat diamati bahwa pendirian partai politik tidak selalu karena perjuangan untuk menegakkan ideologi partai yang telah ditetapkan semula. Tapi pendirian partai lebih banyak karena upaya untuk mendapatkan posisi-posisi kunci di partai baru sekaligus untuk mendapatkan simpul kekuasaan di pemerintahan.

Fenomena ini melahirkan gejala khas pada tingkat individual, para politisi. Keadaan inilah yang kemudian melahirkan politisi-politisi ‘kutu loncat’. Karena ketidakpuasan atau estimasi, maupun tawaran yang menggiurkan, maka selain mendirikan partai baru, para politisi berpindah-pindah dari satu partai ke partai lainnya. Keadaan ini memunculkan pertanyaan, apakah ideologi benar-benar telah mati sehingga dengan mudahnya para politisi pindah ‘kos’ dari satu tempat yang lain.

Keadaan tersebut sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah semua partai memiliki ideologi? Tidak semua partai politik memiliki ideologi yang jelas. Partai politik yang memiliki ideologi dapat tercermin dari pendukungnya yang militan. PDI Perjuangan misalnya, oleh banyak pengamat disebut-sebut sebagai partai yang memiliki ideologi yang kuat. Karena itu kadernya memiliki militansi yang kuat. Beberapa partai Islam yang berbasis tradisional juga dianggap memiliki basis ideologi, bahkan pemilih tradisionalnya , juga kadernya enggan berpindah-pindah.


PARTAI DAN CALEG IDEAL
Lalu bagaimana karakter ideal partai politik muncul dan berkembang di Indonesia? Idealisasi ini mungkin bisa mereduksi fenomena politisi ‘kutu loncat’. Asumsinya jika kepartaian berkembang dengan baik, maka pendukung maupun para kadernya memiliki tingkat pemahaman yang jelas, bahwa partai didirikan bukan semata untuk tujuan kekuasaan tetapi terutama sebagai medium agregasi dan artikulasi kepentingan umum warga negara. Berikut ini beberapa karakter yang bisa disarikan, antara lain (Surbakti, 2002):

Pertama, partai politik yang dikehendaki terbentuk dan berkembang di Indonesia adalah partai politik yang dapat dikontrol oleh rakyat. Partai politik yang dapat dikontrol oleh rakyat adalah partai politik yang: (a) dibentuk dari kalangan kalangan masyarakat sebagai suatu gerakan rakyat; (b) partai politik yang mempunyai basis lokal yang jelas dan kuat; (c) dibentuk berdasarkan kepedulian yang sama pada satu atau lebih isu penting; (d) dari segi keuangan tergantung kepada iuran dan kontribusi para anggota; dan (e) para pengurus dan calon partai untuk lembaga legislatif dan eksekutif dipilih secara langsung, terbuka, dan kompetitif oleh para anggota.

Kedua, sistem kepartaian yang dipandang cocok dan sesuai dengan kemajemukan masyarakat Indonesia tetapi pada pihak lain dapat menghasilkan pemerintahan yang efektif adalah sistem kepartaian pluralisme moderat yang ditandai oleh jumlah partai yang tidak terlalu banyak tetapi juga tidak terlalu sedikit dan jarak ideologi antarpartai juga tidak terlalu jauh sehingga konsensus masih mungkin dicapai.

Ketiga, partai politik yang dikelola oleh para pemimpin dan aktivis yang memahami demokrasi: (1) merupakan upaya memanusiakan kekuasaan (humanizing power), dan (2) bukan sekadar kompetisi tetapi juga kompetensi, dan yang mengelola partai politik (a) tidak dengan pragmatisme yang berdampingan sektarianisme kental, melainkan dengan visi dan misi memanusiakan penggunaan kekuasaan; (b) sebagai sarana pencerahan masyarakat; dan (c) dengan moralitas publik yang jelas sehingga dengan tegas menolak praktik KKN.

Dan keempat, yang dikehendaki terbentuk dan berkembang di Indonesia bukan saja partai politik yang merasa memerlukan dan tergantung kepada masyarakat tetapi juga partai politik yang tidak memonopoli: (a) definisi kepentingan bersama sebagai bangsa melainkan bersedia berdialog dengan kalangan ranah masyarakat warga dan ranah dunia usaha untuk menyepakati apa yang menjadi kepentingan bersama; (b) ranah kekuasaan (legislatif, eksekutif, judikatif, dan lembaga-lembaga negara lainnya) sehingga yang dapat berkiprah pada ranah kekuasaan tidak hanya orang-orang yang dipersiapkan dan diajukan partai politik tetapi juga oleh calon-calon yang
dipersiapkan dan diajukan oleh masyarakat sendiri; (c) informasi publik, seperti agenda dan rancangan peraturan perundang-undangan yang akan dibahas dan diputuskan, serta penerimaan dan pengeluaran partai, dan bertindak transparan kepada publik dengan membuka akses kepada publik seluas mungkin untuk berinteraksi dengan partai politik tersebut.

PENUTUP

Mengingat idealisasi tersebut mereduksi eksistensi partai semata sebagai medium pencapaian kekuasaan, maka perlu didorong agar idealisasi tersebut bisa terwujud. Perwujudannya akan menghilangkan ambisi yang ingin dilakukan oleh para petualang politik, para politisi ‘kutu loncat’. Mengapa? karena bagi mereka berpolitik adalah jalan menuju kekuasaan. Dekatilah kader partai yang saat ini mengajukan diri sebagai caleg dengan ciri-ciri: jujur, peduli dan cemerlang !. Kata kunci tersebut menyediakan jalan bagi pencapaian cita-cita bahwa partai adalah medium kepentingan umum warga negara Semoga !

Menjadikan Masyarakat "Melek Media"

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group


Apa yang terbayangkan saat seorang anak menonton tayangan kekerasan dalam film-film Hollywood? Bagaimana pula respon seorang ibu menyaksikan sinetron yang dramatis ataupun romantis? Bisa dibayangkan bahwa penonton akan larut didalamnya dan menganggap itu adalah nyata dalam keseharian. Secara umum, masyarakat tidak terlatih saat berinteraksi dengan media.
Teknologi komunikasi terutama televisi, komputer dan internet telah mengambil alih beberapa fungsi sosial manusia (masyarakat), setiap saat kita menyaksikan realitas baru di masyarakat, realitas itu tidak sekedar sebuah ruang yang merefleksikan kehidupan masyarakat nyata dalam alam pikiran manusia, akan tetapi sebuah ruang dimana manusia bisa hidup di dalamnya.
Media massa merupakan salah satu kekuatan yang sangat mempengaruhi umat manusia di abad 21. Media ada di sekeliling kita, media mendominasi kehidupan kita dan bahkan mempengaruhi emosi serta pertimbangan kita. Kita seakan tidak bisa hidup tanpa media massa.
Di balik keterpesonaan pada kecanggihan teknologi media massa, serta kemampuannya untuk memperpanjang kapabilitas manusia (McLuhan, 1966), media massa bagaikan sekeping koin dengan sisi positif dan negatif sekaligus. Ini tercermin dalam pandangan-pandangan yang sangat bertolak belakang dalam hal fungsi dan efek media massa di tengah sistem sosial.
Paradigma fungsionalisme struktural dalam kubu sosiologi memandang media massa sebagai salah satu subsistem yang berfungsi menunjang keberlangsungan sistem sosial. Media massa di sini dimaknai secara positif, memberi kontribusi fungsional bagi pemeliharaan sistem kemasyarakatan yang sehat.
Namun, disisi lain media massa dewasa ini kerap dijejali oleh informasi atau berita-berita yang menakutkan, seperti kekerasan, pencurian, pelecehan seksual, dan sebagainya. Bahkan media massa, kini menjadi penyebar pesan pesimisme. Akibatnya, media massa justeru sangat menakutkan bagi masyarakat. Di negara-negara berkembang, banyak sekali dijumpai kenyataan bahwa harapan-harapan yang diciptakan oleh pesan komunikasi dalam media massa menimbulkan frustrasi, karena tidak terpenuhi harapan yang dipaparkan media itu.
Televisi merupakan media massa yang amat populer dalam masyarakat kita Di Indonesia, berdasarkan survei AGB Nielsen di tahun 2006 ternyata 42,86 sampai 95,83% masyarakat Indonesia suka menonton televisi. Hasil ini lebih lanjut dijelaskan bahwa “Hampir 8 dari 10 orang dewasa di kota-kota besar menonton televisi setiap hari dan 4 dari 10 orang mendengarkan radio”.
Keberadaan televisi di Indonesia menunjukan perkembangan luar biasa. Menjamurnya stasiun televisi menumbuhkan ketatnya persaingan antar industri penyiaran, sehingga "perang" program siaran antar televisi menjadi menu wajib sehari-hari. Program yang ditawarkan berorientasi pada pemenuhan selera pasar,
Dalam kondisi demikian, keberadaan televisi menjelma menjadi representasi kekuatan pasar. Logika ini "mengharuskan" pengelola televisi meletakkan dan memosisikan masyarakat (pemirsa) sebagai potensi pasar (objek) yang harus dimaksimalkan untuk menghasilkan keuntungan ekonomis sebesar-besarnya.
Menonton televisi berbeda dengan budaya baca-tulis. Perkembangan keadaannya jauh melampaui media cetak majalah, koran apalagi buku. Televisi telah menjadi media keluarga, telah menjadi salah satu prasyarat yang "harus" berada di tengah mereka. Sebuah rumah baru dikatakan lengkap jika ada pesawat televisi di dalamnya.
Pengelola media acapkali lupa bahwa mayoritas rnasyarakat kita kurang terdidik, dan karenanya kurang kritis, termasuk yang berada di pedesaan. Mereka juga lupa bahwa sebagian pemirsa adalah anak-anak dan remaja yang cenderung meniru apa yang mereka lihat. Persoalan yang penting dibahas adalah bagaimana kita dapat meminimalkan dampak negatif yang muncul?. Apakah yang harus kita lakukan?.
Di sinilah urgensi literasi media (kesadaran media). Pemberdayaan khalayak pemirsa melalui literasi media sudah selayaknya mendapatkan perhatian serius. Literasi media perlu dilakukan guna memberi pemahaman bagaimana media bekerja, bagaimana media mempengaruhi kehidupan, dan bagaimana kita menggunakan media secara bijak. Melalui literasi media, kita bisa memahami, menganalisis, dan menafsirkan berbagai agenda terselubung dan manipulasi-manipulasi di balik suguhan media.
Konsep media literacy pertama kali muncul pada tahun 1980an, dan kini telah menjadi standar topik kajian di sekolah-sekolah berbagai negara. Secara logis konsep ini tidak muncul dari kalangan media, melainkan dari para aktivis dan akademisi yang peduli dengan dampak buruk media massa yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan kapitalis hingga menafikan kepentingan publik.
Media literacy kerap disalahkaprahkan dengan media education. Media literacy bukanlah media education. Media education memandang media dalam fungsi yang senantiasa positif, yaitu sebagai a site of pleasure—dalam berbagai bentuk. Sedangkan media literacy berupaya memproteksi anak-anak dari apa yang dipersepsi sebagai efek buruk media massa.
Dengan pendekatan yang lebih kritis, media literacy tidak hanya mempelajari segi-segi produksi, tetapi juga mempelajari kemungkinan apa saja yang bisa muncul akibat kekuatan media. Media literacy mengajari publik memanfaatkan media secara kritis dan bijak.
Tujuan dasar literasi media mengajarkan khalayak dan pengguna media untuk menganalisis pesan yang disampaikan oleh media massa, mempertimbangkan tujuan komersil dan politik di balik suatu citra atau pesan media, dan meneliti siapa yang bertanggungjawab atas pesan atau idea yang diimplikasikan oleh pesan atau citra itu. Secara sederhana, media literasi pada dasarnya merupakan kepedulian masyarakat terhadap dampak buruk dari media, khususnya media massa.
Seseorang pengguna media yang mempunyai literasi media atau melek media akan berupaya memberi reaksi dan menilai sesuatu pesan media dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Media literasi menjadikan pengguna media untuk berfikir dengan kritis terhadap idea, produk atau citra yang disampaikan dan dijual oleh isi media massa. Mengintensifkan kesadaran akan media sesungguhnya akan membantu membentuk masyarakat sipil yang terdidik. ***

Jangan Khianati Rakyat !

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Apa yang sebenarnya yang membuat masyarakat memilih seseorang dalam pemilu legislatif nanti ? Pertanyaan ini sangat menggelitik, sekaligus menyita banyak perhatian para calon anggota legislatif (caleg). Karena minimnya pengetahuan tentang hal itu, maka perilaku caleg menjadi aneh-aneh. Para caleg seolah-olah mampu membuat estimasi bahwa apa yang mereka perbuat serta merta akan membuat masyarakat akan tertarik, suka, lalu memilihnya.

Terjemahan dari estimasi tersebut adalah memperbanyak iklan, membagi-bagikan bingkisan, dll. Estimasi tersebut melupakan begitu dinamis nya masyarakat dalam merespon pemilu legislatif kali ini. Dalam beberapa hal, ‘politisi’ sesungguhnya adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat semakin melek politik. Masyarakat tidak ingin semata dijadikan objek dalam pemilu kali ini.

Jika merujuk pada studi perilaku pemilih, maka pertanyaan ini sesungguhnya menyimpan jawaban yang kompleks. Selain sebagai makhluk individual, individu juga merupakan makhluk sosial. Studi-studi psikologis akan membuat penjelasan bahwa pilihan-pilihan seseorang akan sangat dipengaruhi oleh karakter psikologisnya, dalam hal ini adalah kepribadiannya. Pandangan ini sifatnya sangat individual dan internal.

Namun terdapat juga pemikiran bahwa individu sesungguhnya juga mampu berpikir rasional dalam membuat pilihan-pilihannya (rational choice). Pandangan ini untuk mengatasi sementara pandangan bahwa individu sangat emosional ketika membuat pilihan.

Selanjutnya, studi-studi sosiologis lebih banyak merujuk pada kondisi-kondisi struktural kemasyarakatan sebagai determinan bagi individu dalam menentukan pilihannya. Individu sangatlah dinamis. Sejauh kondisi strukturalnya berubah maka individu juga cenderung berubah. Tidak ada pola yang tetap. Jika demikian, maka siapa caleg yang mampu mendeteksi kondisi-kondisi struktural ini maka itu sudah merupakan poin penting untuk menerjemahkannya dalam komunikasi dengan para pemilih.

Namun, sesungguhnya terdapat penjelasan lain untuk memahami fenomena tersebut. Individu juga ternyata adalah pencari makna hidup. Individu membuat kategorisasi terhadap para caleg, mana caleg yang memenuhi ekspektasi mereka. Bukan semata persoalan keinginan karena dorongan kepribadian. Bukan juga semata kondisi struktural. Tapi soal penghindaran atas penghianatan!

Hasil penelitian Litbang Media Group menyebutkan bahwa sebagian besar masyarakat akan memilih caleg yang memiliki integritas, ketimbang empati, maupun kompetensi. Integritas merujuk pada caleg yang bisa dipercaya, empati merujuk pada kemampuan caleg untuk memiliki perasaan senasib dengan masyarakat, sedangkan kompetensi merujuk pada kemampuan caleg dalam menyelesaikan problem-problem di masyarakat. Dari keseluruhan itu integritas menempati isu utama (65%), disusul empati (25%), dan kompetensi (1%) (Metro TV, 12 Februari 2009).

Makna apa yang bisa dipetik dari hasil penelitian tersebut ? Selama ini banyak sekali pemimpin maupun para caleg menawarkan solusi atas persoalan-persoalan masyarakat. Masyarakat justru tidak bergeming. Masyarakat dibujuk bahwa segala persoalan akan selesai jika memilihnya. Para caleg menganggap dirinya seperti panasea. Obat bagi segala persoalan-persoalan masyarakat.

Adapula yang menunjukan ‘prestasi’ yang dianggap telah dicapai, sebagaimana yang dilakukan oleh caleg dari partai yang berkuasa. “Prestasi” itu kemudian menjadi menu bujukan dijalan-jalan dan iklan media massa. Bagi rakyat, “prestasi” itu adalah menu sampingan, menu utamanya adalah kemelaratan dan kemiskinan yang mereka alami.

Masyarakat juga tidak bergeming saat mereka dibanjiri bingkisan oleh para calon. Masyarakat justru bermain-main, karena mereka tidak ingin dibohongi. Kecerdasan ini terkadang luput dari perhatian para politisi. Tapi ini sesungguhnya sehat bagi demokrasi. Dimasa akan datang para politisi semakin cerdas dalam berkomunikasi dengan calon pemilihnya.

Apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat ? Integritas. Mereka yang amanah, bisa dipercaya. Kompetensi tidaklah penting. Bahkan calon pemilih dari kalangan berpendidikan tinggi sekalipun menganggap isu integritas jauh lebih utama (72%). Dikalangan anggota legislatif saat ini cukup banyak orang yang dikenal masyarakat memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat.

Namun, yang terjadi didepan hidung mereka adalah para anggota legislatif tersebut justru mengkhianati para pemilihnya. Kenaikan tunjangan diluar akal sehat, permintaan fasilitas yang berlebihan, wisata dengan alasan studi banding ke luar negeri, korupsi berjamaah, dll. Ini semua ditampilkan ditengah-tengah masyarakat yang tengah terbelit persoalan ekonomi.

Menjadi anggota legislatif justru kemudian dijadikan sebagai ladang mata pencaharian, sekaligus memiliki loby politik untuk mengamankan dirinya dari jerat hukum jika menghadapi masalah. Anggota legislatif kemudian menjadi makhluk yang luar biasa. Ini justru terjadi dengan melakukan penghianatan.

Idealnya, politisi yang diinginkan masyarakat para caleg yang menolak menerima gaji sebagai anggota legislatif, dan mengembalikannya kepada masyarakat. Mereka yang tidak terpana oleh tawaran tahta, harta dan wanita yang kini menjadi persoalan krusial di DPR. Mereka yang bekerja demi kemaslahatan masyarakat. Mereka yang hadir untuk mengemban amanah. Mereka yang tidak punya pretensi untuk menipu rakyat. Karena rakyat ‘ogah’ terkhianati lagi !

Internet...oh...internet...

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

We are living in the age communication” demikian Harold Lasswell, pernah berujar. Apa yang diucapkan pakar komunikasi tersebut realitasnya dapat kita simak dalam kehidupan keseharian manusia pada abad ini. Siapapun, anak-anak sekalipun, saat ini dapat secara mudah menyerap inovasi besar-besaran teknologi yang berbasis elektronik seperti: televisi, sistem seluler yang menawarkan berbagai aplikasi pada hand phone, VCD, dan Internet.

Internet merupakan satu dari sekian bentuk kemajuan teknologi. Internet sudah menjadi kebutuhan harian rumah tangga, hampir semua rumah terkoneksi secara global selama 24 jam dengan harga terjangkau. Era komputer yang menawarkan sistem wireless juga semakin mempermudah seluruh anggota keluarga menggunakan internet dalam waktu bersamaan, dengan pc atau laptop yang berbeda di ruangan berbeda semua bisa saja terjadi, akibatnya akses orang tua untuk mengetahui apa yang dilakukan anak semakin sulit.

Penemuan di bidang teknologi semakin memudahkan seseorang untuk larut dalam kemaksiatan. Sementara di sisi lain, teknologi informasi juga memudahkan seseorang untuk memperoleh manfaatnya, seperti menuntut ilmu dan berkomunikasi untuk lebih mempererat tali ukhuwah imaniyyah. Revolusi teknologi informasi ibarat pisau bermata dua; mencerahkan sekaligus menggelapkan.

Disatu sisi, internet tak luput dari sisi negatif. Bagi anak-anak, diantara sisi negatifnya adalah ‘mengkonsumsi’ games yang menonjolkan unsur-unsur seperti kekerasan dan agresivitas tanpa sepengetahuan orangtua. Banyak pakar pendidikan mensinyalir bahwa games beraroma kekerasan dan agresi ini adalah pemicu munculnya perilaku-perilaku agresif dan sadistis pada diri anak. Selain itu, melalui internet juga bisa mengakses dengan mudah berbagai materi bermuatan seks, kekerasan, dan lain-lain secara terbuka dan tanpa penghalang.

Disisi lain, mengajarkan internet bagi anak, di zaman sekarang merupakan hal penting. Internet sebagai sarana bagi upaya pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia. Jika dimanfaatkan dengan benar, internet dapat menunjang prestasi belajar, karena banyak materi di internet yang bisa membantu pendidikan anak. Internet juga bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan agama mengingat di internet saat ini banyak website bertopik keagamaan.

Melihat kedua sisi mata uang ini, apakah harus menjauhkan anak-anak dari kemajuan dunia tersebut? Tentu jawabannya tidak mungkin, karena arus informasi & teknologi sedemikian pesat takkan mampu dibendung. Melarang anak-anak menggunakan teknologi informasi,khususnya mengakses internet, sama dengan memangkas perkembangan intelektual mereka. Seperti halnya buku, televisi dan internet merupakan pintu gerbang mengetahui ilmu pengetahuan. Kemajuan teknologi bukan satu hal yang perlu ditakuti, karena melalui teknologi pula kita dapat mengambil banyak manfaat, karena kita tidak mungkin hidup tanpa terpengaruh arus teknologi & globalisasi, orang tua memberikan pendidikan, pengawasan & pengarahan yang arif sehingga anak-anak sebagai generasi dapat mengambil manfaat positif teknologi tersebut demi kepentingan masa depan.

Melepas pengaruh negatif internet terhadap anak-anak bisa dilakukan orang tua dengan menjadi orang yang pertama kali memperkenalkan dunia maya (internet) kepada anak-anaknya, bukan orang lain. Sehingga, saat pertama kali bersentuhan dengan internet, yang terpikirkan di benak anak-anak adalah tujuan-tujuan positif saat mengakses internet. Selain itu, juga perlu menggunakan sistem yang dapat memproteksi anak dengan mengunci segala akses yang berbau seks dan kekerasan.

Dalam sebuah ayat, Allah berfirman agar kita menjaga diri sendiri dan keluarga sebelum menjaga orang lain. Firman-nya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan,” (QS at-Tahrim [66]; 6).

Ayat ini harus dijadikan landasan sebagai perintah bagi setiap keluarga, untuk menjaga anak-anak mereka dari dampak negatif perkembangan teknologi informasi. Semua dampak negatif perkembangan teknologi informasi, bisa diminimalisir, bahkan dihilangkan jika peran keluarga berfungsi dengan baik.

Karena itu, di sinilah dituntut “jihad keluarga” untuk meminimalisir atau menghilangkan pengaruh negatif teknologi informasi. Saat ini, para orang tua harus berjihad bagaimana melindungi anak-anak dari pengaruh negatif teknologi informasi. Orang tua harus senantiasa melakukan pembelajaran (learning) terhadap isu-isu yang berkaitan dengan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi, orang tua harus ”melek media” sehingga akan mampu memberikan pengarahan dan pengawasan terhadap anak masing.

Pembelajaran orang tua terhadap anggota keluarganya menuntut keterlibatan mereka untuk masuk lebih jauh kedalam poros kebaikan para users internet. Apa yang saya sebut sebagai ‘poros kebaikan’ ini merujuk pada pengguna internet yang menggunakan medium ini untuk menjalin jaringan sosial global, sehingga dapat dijadikan arena diskursus untuk membangun aliansi kebaikan pada masyarakat global.

Fenomena facebook, blog, dan friendster adalah fenomena terbaik dari konsep pembangunan jaringan global. Melalui facebook, blog dan friendster juga terjadi koalisi gerakan masyarakat sipil diseluruh dunia, melawan kecenderungan rezim-rezim yang melawan HAM dan demokrasi.

Komunikasi, Media Perekat Keluarga

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Apakah yang terjadi dengan anak-anak kita diluar sana ? Mampukah kita menjadi pengawal permanen bagi mereka? Ingatkah bahwa mereka layaknya anak panah yang terlepas liar ketika mereka terbebas dari tembok-tembok rumah dan pelukan ayah bunda? Mereka serta menjadi sosok yang tergantung pada orang-orang disekelilingnya, pertemanan dan budaya media. Orang tua mesti peduli, justru ketika kita tak mampu merengkuh semua wilayah sosial mereka. Mari kita simak sejumlah fakta berikut.

Kasus terbaik untuk menggambarkannya adalah dengan menyimak fakta bahwa narkoba merupakan salah satu ancaman terbesar generasi muda saat ini. Narkoba telah merampas anak-anak kita dari rumah dan masa depan yang mereka impikan. Dari dua juta pecandu narkoba, 90 persen adalah generasi muda, termasuk 25 ribu mahasiswa. Kasus penyalahgunaan narkoba tinggi sejak tahun 2001, 60-70 persen tersangka penyalahguna narkoba yang ditangkap misalnya, kebanyakan berusia 16 sampai 21 tahun dan setengahnya adalah pelajar yang masih aktif bersekolah.

Dari temuan Badan Narkotika Nasional (BNN), data 2006 tercatat 8.449 pengguna dari siswa SD, meningkat lebih dari 300 persen dari tahun 2005 sebanyak 2.542 orang. Pengguna di kalangan siswa sekolah menengah pada tahun 2004 terdapat 18 ribu orang dan naik menjadi 73.253 orang di tahun 2007. Luar biasa!

Membaca kondisi seperti ini, apa yang tengah terjadi dengan keluarga pada masyarakat kita? Keluarga sebagai bagian dari struktur sosial adalah salah satu unsur sosial yang paling awal mendapat dampak dari setiap perubahan sosial budaya.

Peranan keluarga yang paling utama adalah sebagai pembagi kehidupan individu ke dalam tingkat-tingkat peralihan usia (daur ulang) dan dalam rangka pembentukan watak dan perilaku generasi muda agar menjadi bagian dari anggota masyarakat yang terinternalisasi ke dalam keseluruhan sistem nilai budaya yang jadi panutan masyarakatnya.

Di dalam keluarga anak-anak menerima pendidikan yang pertama dan paling utama. Pendidikan yang diterima oleh anak mulai dari pendidikan agama, cara bergaul, dan hubungan interaksi dengan lingkungan. Keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama bagi anak. Dalam lingkungan keluargalah anak mulai mengadakan persepsi, baik mengenai hal-hal yang ada di luar dirinya, maupun mengenai dirinya sendiri.

Pada masa sekarang masalah ketaksiapan orang tua dalam membina anak-anak sering dianggap sebagai pemicu terjadinya masalah-masalah sosial dan kenakalan pada diri anak, karena orang tua dinilai kurang mampu memberi perhatian khusus kepada anak. Interaksi dan komunikasi dalam keluarga (orang tua - anak) kurang tercipta secara dinamis.

Penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa ada pengaruh komunikasi keluarga terhadap kenakalan remaja dimana komunikasi keluarga yang dilakukan secara terus menerus ternyata berpengaruh nyata terhadap kenakalan remaja. Hal ini berarti semakin tinggi komunikasi keluarga maka kenakalannya semakin rendah.(Riset Universitas Muhammadiyah-Yogyakarta)

Situasi di atas sepertinya tidak asing lagi di jaman ini, di mana setiap orang, termasuk orang tua, seolah membangun dunia sendiri yang terpisah dari orang lain, bahkan anggota keluarganya sendiri. Komunikasi keluarga menjadi "barang mahal dan barang langka" karena masing-masing sibuk dengan urusan, pikiran dan perasaannya masing-masing. Akhirnya, komunikasi yang tercipta di dalam keluarga, adalah komunikasi yang sifatnya informatif dan superfisial.

Dalam kepadatan arus informasi yang serba superfisial dan sempitnya "waktu bersama", membuat hubungan antara orang tua - anak semakin berjarak dan semu. Dalam pola hubungan komunikasi seperti ini, tidak heran jika ada orang tua yang kaget melihat anaknya tiba-tiba menunjukkan perilaku menyimpang.

Seringkali orang tua lupa, bahwa setiap masalah adalah hasil dari sebuah interaksi setiap orang yang terlibat di dalamnya. Setiap orang, punya kontribusi dalam mendorong munculnya masalah, termasuk masalah pada anak-anak mereka.

Masalah-masalah yang timbul di dalam kehidupan antar manusia sebenarnya berakar pada kesalahpahaman pengertian dan miskomunikasi. Ketika berkomunikasi seringkali terjadi kesalahan, baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan sosial. Dalam komunikasi akan lebih efektif apabila tercapai saling pemahaman, yaitu pesan yang disampaikan dapat diterima dan dipahami oleh penerima.

Merujuk pendapat Walgito (2004:205) di samping keterbukaan dalam komunikasi, komunikasi di dalam keluarga sebaiknya merupakan komunikasi dua arah, yaitu saling memberi dan saling menerima di antara anggota keluarga. Dengan komunikasi dua arah akan terdapat umpan balik, sehingga dengan demikian akan tercipta komunikasi yang hidup, komunikasi yang dinamis. Dengan komunikasi duah arah, masing-masing pihak akan aktif, dan masing-masing pihak akan dapat memberikan pendapatnya mengenai masalah yang dikomunikasikan.

Komunikasi adalah hal yang sangat esensial dalam membangun keharmonisan dalam keluarga. Jika komunikasi berjalan dengan baik maka permasalahan anak, keharmonisan hubungan dapat diselesaikan dengan lebih mudah. Komunikasi yang lancar seringkali menjadi media efektif untuk menyelesaikan berbagai permasalahan. Boleh jadi kita berbeda pendapat tentang sesuatu hal, tetapi jika itu dikomunikasikan dengan baik, tidak akan terjadi salah persepsi. Kita jadi tahu persoalannya dengan segala alasan yang melatarbelakangi. Maka tidak salah jika komunikasi adalah media perekat keluarga. Dengan demikian, kita mesti percaya bahwa bangsa yang besar dan tangguh, merupakan cerminan utuh wajah-wajah keluarga kita sendiri.

Ibu adalah Perjuangan

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group


Dari Bahzin bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya radiyallohu berkata," Saya berkata kepada rasululloh, ya rasululloh siapakah yang lebih berhak mendapatkan kebaikan, maka rasul menjawab,"Ibumu" maka saya berkata lagi: "Terus siapa lagi?" dia menjawab: "Ibumu", maka saya berkata lagi: "Terus siapa lagi?" dia menjawab "Ibumu", aku berkata lagi,"siapa lagi", dia menjawab "Bapakmu" kemudian kerabat-kerabat dekatmu (Hadist Riwayat Abu Dawudra & Tirmidzi)

Apa makna terdalam dari semua ungkapan tentang Ibu? Ini mengandung makna betapa sesuatu yang tak dapat tergantikan, perhormatan setulus hati. Bakti anak pada ibu, dapat mengantarkan menuju surga. Begitu Islam mentitahkan kepada setiap anak-anak muslim.

Perjuangan ibu sangatlah berat. Satu hal yang perlu kita sadari, keberhasilan generasi baru untuk tampil menjadi pemimpin bangsa banyak tergantung pada sejauhmana keberhasilan Ibu dalam membesarkan, mengasuh dan mendidik mereka.

Wajah atau potret ibu merupakan wajah historis kita. Sebagai Ibu rumah tangga, perempuan karier, dan aktivis menyediakan basis penilaian bagi historisasi ibu. Sosok Ibu Rumah Tangga, mendominasi potret ibu. Ibu Rumah Tangga sering digambarkan sebagai sosok Ibu yang mempunyai perhatian penuh pada anak-anak dan keluarga. Sebuah pengabdian total dari kehidupannya.

Sosok Ibu yang kedua adalah perempuan karir. Perempuan yang lebih sering menyibukkan diri dalam kegiatan profesi, baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Perempuan Karir pada umumnya mempunyai latar belakang pendidikan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan wanita yang cukup puas dengan predikat sebagai Ibu Rumah Tangga. Ia juga dikenal sebagai wanita yang selalu berusaha untuk mematahkan mitos dunia kerja lelaki. Perempuan karier merengsek masuk dalam dunia publik, yang didominasi laki-laki.

Sosok Ibu lainnya adalah Perempuan Aktivis. Perempuan Aktivis ini sangat idealis dan kritis. Ia selalu memposisikan dirinya melalui kegiatan yang bertajuk pemberdayaan masyarakat. Sebagian besar hidupnya memang dipersembahkan untuk memperbaiki nasib kaum perempuan yang tertindas dan teraniaya.

Kita membutuhkan ketiga sosok Ibu tersebut. Mengapa ? Karena sesungguhnya menjadi ibu, berarti ’teken kontrak’ pengabdian luar biasa pada masyarakat. Menjadi Ibu, sesungguhnya sebuah perjuangan, karena jika kita merujuk pada pengertian jihad maka perjuangan bermakna bersungguh-sungguh mengeluarkan tenaga yang ada dalam diri seseorang itu baik tenaga lahirnya maupun batinnya, tenaga akal, tenaga jiwa, tenaga fisiknya, digunakan untuk menegakkan sesuatu yang akan diperjuangkan.

Tantangan Ibu semakin berat di era yang serba kapitalistik ini. Nilai-nilai perjuangan bergeser menjadi semakin rumit, mendidik anak tidak lagi mudah. Kemiskinan semakin membuat ibu harus turut menopang ekonomi keluarga. Jaman serba sulit mengharuskan wanita untuk semakin memperjuangkan hak-haknya di ruang publik.

Lalu, apa yang mesti dilakukan ibu di era kontemporer ini ? Kunci nya adalah kecermerlangan pikiran dalam mensiasati kondisi yang bergerak tanpa arah, atau dalam bahasa Giddens, dunia yang bergerak tunggang langgang (runaway world). Dunia yang bergerak tunggang langgang, adalah dunia sarat nilai, tapi mengalami distorsi orientasi.

Kecemerlangan pikiran juga merupakan basis utama pengenalan ibu terhadap realitas kekinian. Para ibu tidak boleh pernah lupa, seorang ibu mesti menjadi sosok yang historis. Projek modernitas senantiasa membawa individu yang berada didalamnya menjadi mudah lupa. Hal ini menyebabkan individu bukanlah lagi sosok yang otentik pada zamannya. Mengapa ? Karena modernitas menawarkan sangat banyak, namun memberi begitu sedikit. Milan Kundera bertitah: ”lupa itu sebenarnya bukan karena tidak ingat, tapi karena ingat yang lain”.

Melalui kecermerlangan pikiran ibu menjadi figur historis, ibu menjadi mengenali apa yang terbaik bagi pembangunan generasi. Keluarga, dimana ibu berperan sangat besar, merupakan medan persemaian generasi-generasi terbaik. Kembali kepada Kundera, zaman ini menyediakan banyak wajah yang dapat mengalihkan pandangan dan pikiran kita, pada arah yang sudah diniati untuk jalan kebaikan. Kita menjadi ingat yang lain.

Karena itu perjuangan seorang ibu bukanlah lagi semata perjuangan melawan kekerasan, ketertindasan, marginalisasi, dan opresi, tapi lebih dari itu, melawan projek lupa ! Apa jadinya jika seorang ibu terjerat dalam projek lupa ? bagaimana generasi terbentuk dari ibu yang tidak cemerlang, tidak cerdas dan menghabiskan waktunya untuk hal yang sia-sia ?

Ini berarti perjuangan seorang ibu adalah perjuangan intelektual. Premis ini mematahkan semua stereotipe bahwa perempuan semata menawarkan tubuh dalam aktivitas sosialnya. Pembantu rumah tangga, dunia hiburan, dll memang menyajikan potret betapa perempuan hanya dikenali sejauh ia menawarkan tubuhnya.

Kini, dengan melihat ibu, dalam konteks perjuangan intelektual, semakin jelas bahwa peran ibu dalam melawan projek lupa, bagi kepentingan pembangunan generasi menunjukan betapa besarnya peran ibu dalam proses pembangunan peradaban. Bayangkan, sebuah generasi yang mengisi sebuah peradaban yang dibentuk oleh para ibu yang tak pernah lupa, dan tak mau terjerat projek lupa, pastilah para generasi tersebut sangat sadar betul akan masa lampaunya, rasional dalam praksis kekiniannya, sekaligus tepat memformulasi masa depannya. Maka, benarlah kiranya bahwa, ibu adalah perjuangan !

Kami Butuh Tempat Bersua !

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Berkeliling diberbagai kota di Indonesia, terdapat keprihatinan yang dalam. Kota-kota di Indonesia memiliki karakter yang sama, yaitu penihilan ruang publik. Keberadaan ruang-ruang publik tersebut di Indonesia lama kelamaan diabaikan oleh pembuat dan pelaksana kebijakan tata ruang wilayah sehingga ruang yang sangat penting ini lama-kelamaan semakin berkurang. Ruang-ruang publik tersebut yang selama ini menjadi tempat warga melakukan interaksi, baik sosial, politik maupun kebudayaan tanpa dipungut biaya, seperti lapangan olah raga, taman kota, arena wisata, arena kesenian, dan lain sebagainya lama-kelamaan menghilang digantikan oleh mall, pusat-pusat perbelanjaan, ruko-ruko dan ruang-ruang bersifat privat lainnya.

Mall atau pusat-pusat perbelanjaan tidak akan pernah dapat benar-benar menjadi ruang publik meski dewasa ini tempat-tempat tersebut sering dijadikan sebagai lokasi bertemu, bertukar informasi, atau sekedar tempat rekreasi melepas kepenatan seusai menghadapi berbagai rutinitas pekerjaan. Karena meskipun terbuka untuk umum, mall tetap menampilkan wajah yang privat dimana di dalamnya orang yang ada di sana cenderung berasal dari kalangan ekonomi tertentu. Tidak adanya kontak dan interaksi sosial sebagai prasyarat bagi penguatan kapital sosial merupakan alasan utama mengapa ruang publik tidak dapat tergantikan oleh mall atau pusat perbelanjaan

Ruang publik di negara-negara maju sudah menjadi kebutuhan. Namun yang terjadi di berbagai kota Indonesia, ruang publik lebih merupakan ruang-ruang sisa. Menariknya, ruang publik yang sangat terbatas ini sangat sarat dengan kepentingan. Kepentingan yang bermain di ruang itu tidak hanya yang berskala besar/kapital, tetapi juga kepentingan yang bersifat lokal, seperti PKL. Hanya sayangnya, berbagai kepentingan yang muncul di ruang publik itu kemudian cenderung memunculkan usaha-usaha ‘pengklaiman’ atas wilayah di ruang publik, misalnya wilayah berjualan para PKL. Akibatnya, ruang publik pun berubah menjadi ruang semi privat; ada aktivitas privat di ruang publik.

APA ITU RUANG PUBLIK ?

Ruang publik dapat didefiniskan sebagai segala ruang di dalam kota yang tidak tertutup bangunan atau merupakan ruang bersama yang dapat dimanfaatkan oleh publik. Karakter ruang publik sendiri adalah bisa mewadahi beragam aktivitas dan bisa pula diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Ruang publik sendiri adalah ruang yang dikelola secara terpadu dengan tetap memperhatikan peran masyarakat dalam pengelolaannya. Satu hal lagi yang cukup penting, ruang publik kota bisa berperan memberikan identitas suatu kota.

Ruang publik menjadi penting karena memiliki berbagai peran strategis.Sedikitnya ada lima fungsi ruang publik. Fungsi sosial adalah fungsi pertama ruang publik, yaitu menyediakan tempat bagi interaksi dan aktivitas sosial masyarakat, serta kebutuhan rekreasi. Kedua, fungsi ekonomi yang memberikan tempat bagi aktivitas ekonomi masyarakat, misalnya tempat bagi aktivitas ekonomi lokal (PKL) hingga pameran. Ketiga, fungsi lingkungan yang menyediakan tempat bagi siklus hidrologi kawasan, iklim mikro, dan habitat satwa (secara luas). Keempat, fungsi budaya yang mewadahi beragam aktivitas budaya masyarakat, seperti pentas seni, prosesi budaya, hingga pembentukan identitas kota. Fungsi ruang publik yang terakhir adalah fungsi estetikanya yang berperan memperindah lansekap kota.

Dengan fungsi-fungsi tersebut, nampak sekali bahwa ruang publik dapat memenuhi semua kepentingan sosial, ekonomi, budaya dan politik warga. Ruang publik menjadi medan bersua warga kota. Berbagi rasa dan harapan.

Dengan demikian, secara umum ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis dan bermakna. Responsif dalam arti ruang publik harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Sementara demokratis berarti ruang publik seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Dan terakhir, bermakna yang berarti ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dunia luas, dan konteks sosial.

URGENSI BAGI TASIK DAN GARUT

Sebagaimana kota-kota lain di Indonesia, Kota Tasik dan Garut mesti melayani warga nya memiliki kembali ruang publik yang telah berangsur-angsur hilang. Saat ini Kota Tasik dan Garut bak ruang pasar yang besar. Hampir semua sisi kota telah dipadati oleh aktivitas ekonomi. Ini mencerminkan sisi konsumtif warga yang terkondisi oleh ruang kota yang tak ramah sebagai tempat bersua, tanpa harus membeli atau menjual.

Selain memuaskan dahaga secara sosial, memuaskan dahaga untuk bersua. Urgensi ruang publik di Tasik dan Garut juga mesti memuaskan dahaga warga sebagai makhluk yang butuh makna hidup, manusia yang berbudaya. Manusia yang menghargai kehidupan. Manusia yang juga menghargai tradisi dan masa lalu. Ruang publik juga mesti didekatkan dengan ingatan kolektif dan sejarah kota. Cagar budaya mesti dipelihara, karena lewat cagar budaya lah warga akan menghargai masa lalunya.

Ruang publik di Kota Tasik dan Garut juga mesti menyediakan ruang protes dan kritik ketidakpuasan. Tempat warga mengekspresikan kegalauan atas kebijakan yang tidak diinginkan. Ruang publik yang diniati seperti ini akan memberi legitimasi kuat bagi pemerintah kota, karena menyadari bahwa mereka sangat mungkin berbuat salah. Karena itu protes adalah niscaya.

*Tulisan ini didedikasikan buat para budayawan, seniman, politisi, akademisi yang membutuhkan ruang publik sebagai medan ekspresi, protes dan intelektualitas. Semoga!

Pendidikan Berbasis Spiritual

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group


Hidup bermakna diperoleh dengan jalan
merealisasikan tiga nilai kehidupan,
yaitu nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan,
dan nilai-nilai bersikap
(Victor Frankl)

Apa yang dinyatakan oleh Frankl tersebut merupakan intisari dari pendidikan berbasis spiritual. Ini menjadi dasar perburuannya atas makna hidup setelah empat tahun ia menjadi tahanan Nazi. Baginya hidup adalah ikhtiar untuk hidup lebih bermakna dengan mengembangkan kreatifitas, penghayatan dan sikap.

Pendidikan berbasis spiritual dalam rangka membangun karakter bangsa yang beriman kuat. Ini memiliki makna yang penting, mengingat pada saat ini dirasakan semakin melemahnya ikatan dan komitmen emosional dan fungsional warga negara terhadap tanah airnya. Membangun komitmen spiritual warganegara terhadap negaranya diharapkan merupakan kunci solusi bagi upaya kebangkitan bangsa yang lebih hakiki, komitmen spiritual akan melahirkan semangat dan keihlasan warganegara untuk lebih suka memberi daripada berfikir apa yang harus didapatkan dari negri ini.

Berkaitan dengan pentingnya spiritualisasi wawasan pendidikan, Syarif Bastaman Center (SBC), telah mengimplementasikannya melalui pelatihan pengembangan diri berbasis spiritual bagi komponen strategis di bidang pendidikan yaitu para Guru di Tasikmalaya. Melalui Syarif Bastaman Foundation (SBF) telah mengajak kalangan muda dan akademisi komunikasi di Garut untuk melek dengan dunia kerja di bidang penyiaran (broadcasting). Tentu saja semua ini dilandasi oleh semangat profetis. Untuk meningkatkan manfaat pendidikan tidak semata domain intelektualnya (kognitif) semata tetapi juga praksis nya.

Pendidikan berbasis spiritual diperlukan, mengingat abad ke‑21 dan semakin kuatnya globalisasi menuju tatanan dunia baru, sering disebut juga sebagai "abad ruhaniah" atau era spiritual, yang mempersaksikan tingkat kegairahan baru umat manusia dalam meyakini dan mengamalkan agama, sebagai muara keseimbangan hidup manusia antara yang material dan spiritual. Pembangunan karakter bangsa melalui spiritual building, merupakan langkah strategis, hal ini sejalan dengan hasil kajian Harvard Business School, (2002) yang menyatakan bahwa spiritualitas mampu menghasilkan lima hal. yakni, (1) integritas atau kejujuran,(2) energi atau semangat, (3) inspirasi atau ide dan inisiatif, (4) wisdom atau bijaksana serta (5), keberanian dalam mengambil keputusan. Dan hasil kajian selanjutnya menyatakan, bahwa spiritualitas mampu membawa seseorang pada keberhasilan secara hakiki.

Namun pada sisi yang lain menurut Toffler, pada era global manusia akan mengalami objektivikasi dalam berbagai segi kehidupan, sehingga manusia akan menjadi The Modular‑Man. Manusia yang terdiri atas komponen-­komponen bendawi seperti mesin, yang berhubungan secara organik tanpa berusaha saling mengenal dan memahami, dan akhirnya dapat dibuang seperti sampah atau barang bekas (disposible). Gambaran Toffler, akan berkembangnya individualisme, pragmatisme dan materialisme, sebagai ekses era global dapat kita rasakan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita, termasuk kehidupan masyarakat desa kita, yang sudah bersinggungan dengan perkembangan teknologi informasi dan transportasi. Mulai lunturnya semangat kebersamaan, menguatnya individualisme dan konflik serta dan mulai terkikisnya nilai-nilai kearifan lokal oleh budaya kosmopolitan.Yang potensial dapat menggangu mimpi indah bersama dalam wadah Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI), menjadi mimpi buruk yang melelahkan penuh konflik kepentingan, amarah dan pertumpahan darah meski oleh hal-hal yang sepele kerena kerasnya problematika kehidupan yang terjadi saat ini.

Situasi krisis multi dimensi yang tidak mudah diselesaikan, diperparah oleh adanya tantangan ekternal yang ditandai oleh adanya hegemonisasi, atau penguasaan asset bangsa secara politis maupun ekonomi oleh Negara yang lebih kuat, lembaga Internasional maupun oleh perusahaan Internasional (multinational incorporated) yang sangat potensial mampu menggoyahkan kedaulatan, kehormatan dan bahkan eksisitensi bangsa dan Negara. Sesuai hukum alam kalau ketahanan bangsa, lebih rendah dari tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan yang dihadapi maka berbahayalah kondisi NKRI yang potensial tenggelam tinggal nama, seperti Sriwijaya dan Majapahit.

Menurut Ary Ginanjar, permasalahan bangsa yang terjadi, sebagai akibat dari krisis manusia yang sudah tidak mengenal lagi diri dan Tuhannya, sehingga korupsi sudah merasuk hingga level yang paling bawah. Lebih lanjut Ary, mengatakan masalah korupsi, merupakan masalah moral bangsa, hal tersebut terjadi karena pelaku korupsi dan KKN pada umumnya meragukan keberadaan Tuhannya, dan tidak lagi memikirkan tanggung jawab apa yang akan ia berikan ketika hari kematian menjemputnya.

Adanya kontradiksi tersebut menunjukkan bahwa proses pendidikan yang dilaksanakan selama ini belum mampu secara optimal untuk membimbing peserta didik untuk mampu mengenal diri dan Tuhannya, dalam melakukan “inner journey” dalam menemukan nilai terdalam dalam dimensi spiritual manusia, yang disebut “God conciousness” atau nilai imani yang kemudian menjadi bagian dari sistim nilai yang dimiliki setiap peserta didik sebagai pedoman kehidupan yang sesungguhnya yang senantiasa terkait dengan dimensi spiritual. Maka model pelatihan berbasis spiritual, yang mampu memadukan kecerdasan emosional dan spiritual dalam mewujudkan spiritual binding, atau ikatan spiritual terhadap komponen strategis bangsa adalah langkah strategis dalam mewujudkan karakter bangsa yang unggul.

Karakter bangsa perlu dibangun dan dipelihara melalui pendidikan untuk meningkatkan dan memelihara nation and character building, yang sejak kemerdekaan menjadi agenda penting yang harus terus dibina dan ditumbuhkan oleh para pendiri bangsa. Bung Karno, membangun rasa kebangsaan dengan membangkitkan sentimen nasionalisme yang menggerakkan “suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa”. Bagi Bung Karno, keinginan hidup menjadi satu bangsa itu dasarnya bukan nasionalisme sempit.

Dengan demikian, Bung Karno secara tegas menolak nasionalisme sempit (chauvinisme) yang ia anggap sebagai bentuk “assyabiyah yang dikutuk Allah.” Menurut sosiolog, Imam B. Prasojo, mengutip pandangan John Obert Voll, walaupun doktrin nasionalisme Bung Karno ini lebih diilhami oleh sumber-sumber sekuler sehingga kurang tersentuh oleh nilai-nilai transcendental, namun semangat Bung Karno yang anti-nasionalisme sempit itu sebenarnya sejajar dengan doktrin tauhid dalam Islam. Dalam kajian sosiologis, doktrin tauhid (shahadah) La ilaha illa ‘Llah, Muhammad ur-Rasul al-Lah (tiada Tuhan selain Allah, Muhammad rasul Allah) dilihat sebagai bentuk manifestasi penolakan tegas terhadap segala bentuk loyalitas kelompok dan pemimpin yang semata-mata bertumpu pada ikatan-ikatan primordial.

Komitmen spiritual adalah pondasi kokoh, bagi warganegara untuk senantiasa memiliki semangat memberi yang terbaik kepada bangsa dan negaranya secara ihlas. Karena spiritualitas yang dimiliki oleh setiap warganegara akan melahirkan energi untuk mengabdi secara tulus, energi untuk bangkit dari keterpurukan, energi untuk jujur, energi untuk bertanggungjawab, energi untuk peduli, yang merupakan karakter unggul yang semestinya dimiliki oleh setiap warganegara yang didasari iman yang kuat, yang diharapkan mampu menahan godaan duniawi yang menyesatkan.

*Tulisan ini dipersembahkan bagi kalangan pendidik, seniman, budayawan dan intelektual Garut dan Tasikmalaya atas pengorbanan tak kenal lelah dalam membangun horison dan pencerahan, memberi pintu masuk bagi kekayaan makna hidup, serta peduli pada pembangunan karakter bangsa!

Halamanku adalah Dapurku

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Sebuah lirik lagu dari band legendaris Koes Plus pernah menyebutkan, bahwa hanya dengan menanam tongkat maka akan tumbuh tanaman. Kesuburan tanah di Indonesia memang tiada tara. Tidak salah jika dahulu kala, tanah-tanah di Nusantara menjadi rebutan penjajah.

Kini, Indonesia tengah mengalami krisis pangan. Kendati ada penurunan harga BBM, tidak menjamin harga bahan pangan murah. Bahkan, semua komoditas kebutuhan sehari-hari harganya makin melambung tinggi hingga sebagian rakyat tak bisa menjangkaunya.

Keluarga adalah elemen utama yang paling merasakan dampak krisis pangan ini, pada akhirnya keluarga dan masyarakat mempunyai modal sosial yang makin menipis. Upaya mengajak dan mengerahkan keluarga untuk bekerja secara gotong royong memecahkan masalah kemiskinan dan akibat langsung dari perubahan politik nasional dan global itu kurang memberi harapan.

Persediaan pangan dunia menipis dan harga komoditas lain ikut menggila. kenaikan harga pangan yang tidak kunjung turun, dan suasana dunia yang memprihatinkan, akan membawa dampak bagi keluarga miskin menghadapi kerawanan pangan bahkan kelaparan.

Padahal, Indonesia adalah wilayah yang sangat subur dan potensial, yang dapat menjadi sumber kehidupan, kita mempunyai sumberdaya alam yang sangat mendukung untuk dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari antara lain tanah, air, matahari, angin dan lain-lain. Karena itu, harus ada upaya kuat dari semua komponen bangsa untuk memperkuat pemberdayaan keluarga dan jaringan pendukung masyarakat yang mampu menjamin kecukupan pangan untuk keluarga kurang mampu yang sedang berjuang melepaskan diri dari lembah kemiskinan.

Kita mesti mulai dengan menyiasati krisis pangan yang makin memprihatinkan ini dengan mencoba mengelola sumberdaya lingkungan yang sendiri. Lupakan berwacana dengan areal lahan yang berhektar-hektar, modal yang berjuta-juta atau peralatan yang High Technology, namun coba kita tengok apa yang ada di sekitar lingkungan kita.

Pekarangan adalah lingkungan kita sehari-hari, jika ditata dan dipelihara dengan baik, akan memberikan lingkungan menarik, nyaman dan sehat serta menyenangkan dan membuat kita betah berlama-lama tinggal di rumah. Dengan menanam tanaman yang berproduktif, taman pekarangan dapat memberikan kesehatan yang memenuhi kepuasan jasmaniah dan rohaniah.

Pemanfaatan pekarangan dengan tanaman produktif seperti tanaman holtikultura (tanaman buah-buahan, sayur-sayuran dan tanaman hias), rempah-rempah, obat-obatan, bumbu-bumbuan dan lainnya akan memberikan keuntungan yang berlipat ganda.Kalaupun tak ada tanah atau lahan yang luas, bahkan dalam berbagai media misalnya pot, bekas botol, bekas kaleng dan lain-lain dapat kita manfaatkan untuk menjadi solusinya.

Kekhasan pekarangan yang ada di Indonesia dengan keanekaragaman flora dan fauna yang mengisi pekarangan merupakan suatu kekayaan yang tidak ternilai. Biasanya keluarga itu memelihara ternak, dimana kotoran ternak itu dapat pula menjadi pupuk untuk tanaman

Berbagai keuntungan yang diperoleh dengan memanfaatkan pekarangan secara konseptual pernah dikemukakan Zoer'aini Djamal Irwan, antara lain :

1. Banyak yang tidak menyadari akan potensi pekarangan sebagai penghasil (tambahan), seperti bahan pangan atau bahan obat-obatan bahkan ternak untuk kebutuhan hidup sehari-hari dalam rangka hidup sehat, murah dan mudah.

2. Pemanfaatan pekarangan merupakan bagian dari pembangunan hutan kota, guna lingkungan yang nyaman, sehat dan indah, sangat mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (suistanable development), karena pemanfaatan pekarangan merupakan pelestarian ekosistem yang sangat baik.

3. Jika setiap rumah mempunyai pekarangan yang indah serta terpelihara, sekaligus akan meningkatkan pembangunan hutan kota yang berbentuk menyebar dengan struktur yang berstrata akan meningkatkan kualitas lingkungan yang sejuk, sehat dan indah.

4. Dengan membuat taman pekarangan, ini berarti akan dapat menyalurkan segala kreatifitas dan kesenangan ataupun hobi semua anggota keluarga.

5. Unsur utama dalam pemanfaatan pekarangan adalah tanaman, apakah itu tanaman hortikultura, obat-obatan, bumbu-bumbuan, rempah-rempah dan lainnya.

6. Pemanfaatan pekarangan dengan taman pekarangan yang konseptual akan memberikan kenyamanan serta dapat memenuhi kebutuhan jasmaniah dan rohaniah terutama anggota keluarga, maupun siapa saja yang lewat disekitar rumah kita.

7. Pemanfaatan pekarangan mengandung nilai pendidikan khususnya dapat mendidik anggota keluarga cinta lingkungan, juga pekarangan dapat menjadi laboratorium hidup.

Semua itu adalah tindakan sederhana untuk mengatasi krisis. Jika dibiarkan terus berlanjut, maka krisis pangan dapat menjadi bencana kemanusiaan terbesar. Karena melumpuhkan kemampuan suatu bangsa dalam membangun generasi. Tidak ada kejahatan yang lebih menyakitkan rakyat sebuah bangsa, selain saat pemerintahnya membiarkan rakyatnya kelaparan.Itulah tragedi yang menimpa sejumlah negara di dunia hitam, Afrika. Harus diingat bahwa, manusialah harapan satu-satunya umat manusia!.

Kita semua berharap, kesadaran menumbuhkan ketahanan pangan sebuah bangsa bisa dimulai dengan langkah-langkah kecil terlebih dahulu dengan pemanfaatan yang optimal dirumah kita masing-masing. Semoga setiap rumah keluarga di Kota & Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut bisa memulai hal tersebut.

Pilihlah Daku Jadi (Wakil) Mu

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Secara umum, artikel ini mengulas sebuah gejala baru yaitu, Personalisasi Politik. Apa itu personalisasi politik ? Frasa ini mungkin menyimpan banyak kemungkinan pelekatan nilai. Personalisasi politik dalam artikel ini merujuk pada kembalinya individu diakui sebagai representasi perwakilan rakyat. Dalam konteks demokrasi perwakilan, partai politik menyediakan orang-orang yang dapat dipilih rakyat untuk mewakilkan aspirasinya di parlemen. Sejauh ini pandangan tersebut sesungguhnya lazim dalam kontes demokrasi. Pemilu merupakan medan artikulasi politik rakyat untuk menentukan nasib bangsa di masa depan.

Namun demikian itu baru menyentuh demokrasi secara prosedural. Banyak politisi memahami logika seperti itu. Demokrasi secara substansial justru jauh panggang dari api. Implikasinya praktik demokrasi tidak pernah beranjak dari politik kepentingan semata. Praktik demokrasi yang berlandaskan itupula yang membuat partai memiliki peran utama dan sentral. Partai politik sangat mungkin menjadi institusi yang mem by pass kepentingan rakyat. Pada akhirnya yang mengemuka adalah justru kepentingan partai.

Sekalipun kita sepakat bahwa partai politik adalah lembaga yang sangat penting dalam demokrasi, namun urgensi nya sesungguhnya semata sebagai medium atau pencerminan hak warga negara untuk berkumpul/bersyarikat. Dengan berorganisasi, maka artikulasi kepentingan tidaklah subjektif-personal, namun merupakan kondisi objektif warga negara. Jika demikian, maka pesan utama munculnya pranata partai politik adalah medium sekaligus pencerminan kehendak rakyat itu sendiri. Lalu mengapa dikemudian hari, kehendak rakyat justru menjadi raib dalam kesadaran berpartai?

Keputusan MK, yang mengakui suara terbanyak dan bukan nomor urut, sesungguhnya mengembalikan spirit kehendak rakyat. Rakyat tidak lagi terkungkung oleh tirani partai. Sebelumnya partai memiliki otoritas untuk menentuan siapa-siapa yang berhak mendapat rating tertinggi perhatian publik, dengan menempatkan mereka diurutan teratas. Namun pasca keputusan MK, otoritas itu buyar. Otoritas itu kembali kepada rakyat. Dengan kata lain muncul adagium: “Jangan Lihat Partainya, Lihat Orangnya”

Adagium itu sangatlah tepat saat ini. Konflik antar partai yang terjadi di setiap pemilu menyita banyak energi. Sekaligus juga memicu konflik di tingkat akar rumput. Kondisi objektif juga mendorong latar belakang sosial politik dari keputusan MK tersebut. Jika politik aliran masih dipercaya sebagai tolak ukur pembagian ideologis partai-partai di Indonesia, maka saat ini yang terjadi justru sebaliknya.

Yang terjadi adalah ‘dealiranisasi’. Inilah kondisi yang paling realistis dan harus disikapi dengan arif. Partai-partai nasionalis menjadi lebih dekat dengan unsur-unsur keagamaan, terutama Islam, sebaliknya partai-partai Islam semakin menyadari kemajemukan Indonesia. Parai-partai nasionalis tidak bisa lagi menyerobot klaim lebih nasionalis ketimbang partai Islam. Begitupula sebaliknya. Partai-partai yang awal pendiriannya sangat kental nuansa Islam nya, kini semakin dekat dengan unsur-unsur lain dalam masyarakat. Bahkan terdapat partai yang dipersepsi sangat islami, mencalonkan caleg dari kalangan Nasrani.

Sebenarnya keputusan MK ini pada akhirnya mengarah, pada apa yang saya sebut dimuka, sebagai personalisasi politik. Secara akademis, perspektif ini sangat liberal, karena memberikan mandat yang sangat besar pada individu. Pemberian mandat yang besar pada individu memberikan peluang manipulasi juga pada tingkat individual. Namun, ini jauh lebih bisa diawasi ketimbang manipulasi struktural. Mandat individual juga jauh lebh accountable. Dalam konteks ini, individu menawarkan dirinya untuk dipilih, sekaligus satu paket untuk diawasi.

Mengingat pilihan terhadap individu semakin bisa dilepaskan dari sekat-sekat ideologis buatan partai, maka perhatian utama semakin bisa diarahkan pada kepentingan real masyarakat lokal, tempat dimana Daerah Pemilihan (Dapil) calon anggota legislatif. Para caleg berlomba-lomba untuk memberikan yang terbaik justru karena mereka dituntut untuk melayani orang-orang terdekat, yang terkait secara sosial dan kultural. Keputusan MK ini memberikan penguatan terhadap lokalitas. Caleg dari luar yang tak berakar akan merasa khawatir dengan kondisi ini.

Sebelumnya, saat partai masih sangat berkuasa, sangat mungkin partai memasukan orang-orang yang sama sekali tak berakar, bahkan tidak memahami aspirasi masyarakat tempat dimana ia dicalonkan. Ritual mendekati rakyat pemilih hanya dijalankan sejauh mendekati pemilihan umum. Inilah yang membuat cacat praktik demokrasi yang secara subtansial mensyaratkan intensitas relasi antara anggota legislatif dengan masyarakat yang diwakilinya.

Keputusan MK perihal suara terbanyak, sebenarnya bukan tanpa persoalan. Proses ini juga sebenarnya berimplikasi pada tingginya potensi konflik yang muncul dari caleg dari partai dan dapil yang sama. Mengingat tidak ada lagi mana yang anak emas, dan mana yang bukan. Kondisi ini juga berpotensi munculnya politik uang (money politics) dalam usaha merebut hati rakyat. Namun kedua hal itu sesungguhnya semakin tidak relevan ditengah kondisi rakyat yang semakin terdidik dan kritis. Rakyat tidak ingin lagi dijadikan objek perebutan suara.

Pengalaman pemilu 2004, yang menghasilkan angota dewan dan pemerintahan yang tidak aspiratif membuat rakyat semakin waspada. Semakin banyak masyarakat yang sadar dengan kondisi ini. Mengikuti terminologi Freire, mereka telah beranjak dari kondisi naive ke kondisi kritis. Sangat mungkin mereka menyerap money politics tersebut, namun itu semata permainan. Mereka telah mengantongi nama-nama yang diprediksikan menang karena dianggap mampu menyuarakan aspirasi mereka. Mereka tidak ingin berjudi dengan kepentingan mereka lima tahun kedepan.

Jika proses ini berlangsung dengan normal, bisa dipastikan Pemilu 2009 akan menghasilkan anggota dewan yang jauh lebih aspiratif. Hal ini juga karena kerelaan sekaligus kesadaran partai-partai yang akhirnya mampu melihat secara lebih realistis keniscayaan demokrasi di negeri ini. Pasca keputusan MK, partai-partai menjadi jauh lebih matang dalam berpolitik. Ini tentu saja memberikan kontribusi yang sangat besar bagi demokrasi kita. Keputusan MK ini juga menjadikan infrastruktur politik kita menjadi jauh lebih memadai bagi praktik demokrasi. Semoga !

Ibuku Sayang, Ibuku Hebat

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

"Sebagaimana dalam rumah,
demikian pula yang terjadi dalam negara
"
(Bronson Alcott)

Profesi ibu rumah tangga kerap dipandang sebelah mata, karena kesan yang melekat didalamnya seolah ibu rumahtangga itu refleksi dari ketidakberdayaan perempuan atas dominasi sang suami dan ketidakmampuan perempuan untuk mandiri sehingga sangat tergantung kepada dominasi laki-laki. Maka, acapkali yang menyandang status ini minder karena tidak bisa berkiprah diranah publik.

Rasa malu menyandang profesi ibu rumah tangga bisa jadi dikarenakan pengambilan peran ibu berangkat dari "keterpaksaan" ataupun adanya sindrom feodalistik yang disosialisasikan turun temurun, bahwa sesuatu yang mempunyai “value” adalah materi maupun kedudukan sosial. Sistem ini mengajarkan untuk menghargai benda, bukan karya.

Peran ibu memang jauh dari sanjung puji, meski dibalik orang-orang besar selalu ada ibu yang mendorong dan mengarahkan mereka. Kendati kemudian seorang perempuan menyadari pentingnya peran ibu dalam keluarga, seringkali masih banyak yang menjalaninya berdasarkan insting semata, diterima secara taken for granted, bukan sebagai suatu pilihan sadar yang diiringi dengan kesungguhan dan kemauan untuk meningkatkan terus peran keibuannya.

Jika dipahami bahwa menjalani kehidupan sebagai ibu rumah tangga merupakan sesuatu yang disadari, maka pengelolaan keluarga layak dikelola secara rasional dan sistematis. Tujuan akhirnya juga adalah keharmonisan keluarga. Tentu saja dengan tetap menghargai posisi ibu sebagai perempuan yang memiliki hak dalam mengembangkan diri. Posisi ini mesti ditunjang oleh semua anggota keluarga, terutama laki-laki. Hal ini untuk mengeliminasi kecenderungan patriarkhis yang berlebihan dalam pola relasi antara suami dan istri.

Menjadi ibu rumah tangga sesungguhnya menjalani pekerjaan multi tasking. Mengapa demikian? Jika dicermati, seorang ibu rumah tangga (IRT) adalah seorang Manajer Waktu yang handal, mengelola dunia domestik dengan kecermatan yang tinggi dalam mengelola waktu bagi seluruh keluarga. Seorang IRT juga adalah Manajer Keuangan yang piawai, bayangkan dijaman semakin sulit ini, dimana BBM dan sembako melambung tinggi, pendidikan semakin mahal, Sang IRT harus berpikir keras mengatur uang yang diberikan suami agar mencukupi semua kebutuhan roda rumah tangga.

Ibu rumahtangga adalah Ahli Gizi yang cerdas, IRT harus mengatur pola makan anak-anak dan suami, mulai dari jadwal makan maupun menu yang pas. Orang pertama yang paling risau ketika anak-anak tidak mau makan adalah IRT. Ia sekaligus seorang Dokter yang Setia karena selalu hadir disaat-saat keluarga sedang menderita sakit. Tidak jarang suami dan anak-anak merasa kelimpungan tatkala IRT menderita sakit, karena bingung siapa yang akan mengurus mereka.

Predikat seorang Guru Pintar juga melekat pada IRT, seorang ibu tidak cukup hanya sekedar mengatur waktu, keuangan dan gizi yang baik tetapi juga menjadi guru yang harus selalu mengikuti perkembangan jaman, dengan memandu dan mengawasi proses edukasi di rumah maupun perkembangannya disekolah. Karena itu, peran seorang ibu dalam keluarga menjadi sentral, ibu sebagai pendidik utama. Kesadaran tentang pentingnya peran ibu, akan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya beragam teori kecerdasan di negeri barat, seperti emotional intelligent, spiritual intelligent, bodykinestetik intelligent, visual intelligent, dll

Di zaman sekarang dimana resonansi, getaran dan guncangan dari luar sangat mempengaruhi, tidak cukup kuatlah benih yang ditanam, karena hama di luar sangatlah banyak dan kuat daya merusaknya. Maka memilih peran ibu dengan sadar, akan membawa konsekuensi pada upaya peningkatan kualitas diri seorang ibu. Ibu haruslah bisa meningkatkan kualitas dirinya sendiri, kualitas anaknya, kualitas rumah tangganya, namun tetap bisa memberi kontribusi pada masyarakat sehingga ibu rumah tangga modern memang multi fungsi dan multi talent.

Keluarga modern adalah sebuah rumah yang terdiri dari beberapa anggota keluarga yang saling bekerjasama sebagai salah satu tim. Inilah yang membedakan keluarga dengan tradisi-tradisi lama yang menganut sistem kepala rumah tangga. Keluarga modern menekankan suatu rumah tangga dimana pekerjaan rumah tangga bukan lagi menjadi tanggung jawab istri sepenuhnya. Setiap anggota mempunyai peran masing-masing tetapi saling bahu membahu membentuk sebuah keluarga yang bahagia.

Darimana harus dimulai? Idealnya adalah mengubah pola pikir terutama streotipe masyarakat terhadap peran ibu rumah tangga. A. Bronson Alcott menulis: "Sebagaimana dalam rumah, demikian yang terjadi dalam negara" Rumah tangga adalah bagian unsur dari masyarakat, untuk membentuk sebuah masyarakat yang dapat menghargai peran wanita dimulai dari dalam keluarga itu sendiri. Manajemen keluarga modern lebih menghargai peran setiap anggotanya dengan demikian kebahagiaan rumah tangga menjadi tanggung jawab bersama.

"Tulisan ini dipersembahkan kepada seorang ibu yang lama mendedikasikan waktunya untuk kemajuan anak didiknya. Ibu yang memberi lentera kehidupan bagi saya dan ratusan anak didiknya"

Suara untuk Perubahan

SUARA UNTUK PERUBAHAN

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Mengapa ada wacana golongan putih (golput) ? Dan mengapa pula pemilih menjadi kehilangan ideology dalam setiap pilihannya ? Yang mesti ditekankan sesungguhnya adalah partisipasi sepenuhnya dalam pemilihan dengan menghindari golput, sekaligus konsisten dengan pilihannya. Karena sesungguhnya konsistensi dalam pilihan dan menggunakan suara adalah tindakan menjaga dan merawat demokrasi yang berujung pada tercapainya hasrat akan perubahan kearah yang lebih baik.

Bagaimana sesungguhnya demokrasi beroperasi sehingga menghasilkan pemerintahan yang baik ? Kata ‘demokrasi’ berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi sesungguhnya dapat diandalkan sebagai mekanisme untuk mewujudkan kehendak rakyat. Ini bukan saja karena kegagalan otoritarianisme. Tapi telah menjadi keniscayaan sejarah. Ada keyakinan bahwa apa pun rezim atau budaya, seluruh umat manusia pada dasarnya mencintai kebebasan, dan akan memilihnya apabila diberi kesempatan.

Karena itu tidak kurang dari Francis Fukuyama yang menyebutkan bahwa tegaknya demokrasi liberal adalah akhir dari sejarah (the end of history). Berakhirnya sejarah bukanlah berarti berakhirnya peristiwa-peristiwa. Peristiwa akan terus berlanjut. Tapi peristiwa-perstiwa akan senantiasa dilihat dalam perspektif demokrasi.

Secara sederhana, demokrasi liberal bisa didefinisikan sebagai sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan perwakilan, aturan hukum, dan konstitusi, serta perlindungan terhadap kebebasan individu, dan hak-hak minoritas. Demokrasi liberal tidak hanya menekankan pada pemilu dan jumlah mayoritas, tapi juga pada kebebasan individu dan hak-hak minoritas.

Banyak yang kerap menyangka bahwa demokrasi hanyalah pemilu dan mayoritas. Demokrasi semacam ini lebih layak disebut sebagai “demorasi elektoral” atau “demokrasi prosedural.” Demokrasi semacam ini hanya menekankan mekanisme pertarungan politik saja, dan kurang peduli pada inti yang menjadi target demokrasi, yakni kebebasan individu dan hak-hak sipil.

Demokrasi pada akhirnya menjadi alat ukur terbaik cara sebuah bangsa mengelola dirinya. Penghancuran terhadap demokrasi sama saja dengan memandulkan sebuah masyarakat dalam mengelola diri dengan cara terbaik. Mengapa ia dianggap terbaik? Hal ini karena demokrasi menihilkan dominasi dan meniscayakan mufakat. Setiap individu adalah personalisasi terbaik dari kehendaknya. Sistem adalah hasil terbaik yang diperoleh dari agregasi kehendak bersama dari semua anggota masyarakat.

Proses demokratisasi di Indonesia sejak reformasi bergulir merupakan indikasi terjadinya dinamika sejarah baru yang cukup menggembirakan dalam proses kebangsaan dan kenegaraan. Ditandai dengan keberhasilan melaksanakan pemilu legislatif, pemilihan presiden langsung dan selanjutnya pemilihan kepala daerah secara langsung hampir tanpa konflik mengkhawatirkan.

Indikator keberhasilan secara kuantitatif bisa diketahui dari jumlah partisipasi pemilih, parpol, jumlah calon kepala daerah sampai tingkat keamanan serta konsolidasi di dalamnya, sudah waktunya kita refleksikan dengan tingkat signifikansi perubahan dan perbaikan kondisi masyarakat.

Keberhasilan proses (transisi) demokrasi saat ini telah menjadikan dunia internasional menempatkan Indonesia sebagai new state of democracy di Asia yang sebelumnya di kenal sebagai lahan subur diktator dan otoritarianisme.

Karena itu pencapaian ini mestilah dijaga dengan baik. Pencapaian ini tidaklah mudah. Banyak negara dimuka bumi ini masih dicengkram rezim-rezim otoritarian. Bagaimana cara kita ikut terlibat dalam menjaga pencapaian terbaik kita ini ? Pertama, terlibatlah secara kritis dalam proses election. Janganlah menghindar untuk menjadi golongan yang tidak menggunakan suaranya (golput). Dalam beberapa hal sikap ini sebenarnya cukup simpatik, namun sama sekali tidak membawa kontribusi bagi keajegan demokrasi. Menjaga demokrasi adalah mengawalnya dari bilik suara hingga ke parlemen. Menjadi golput pada akhirnya semata menjadi penonton, karena kehilangan hak untuk mengawal demokrasi di parlemen, karena ia tidak memulainya dari bilik suara. Intinya, “aku yang memulai, maka akupula yang akan bertanggungjawab”.

Kedua, jika diawali dengan sikap kritis, maka untuk selanjutnya tetaplah konsisten dengan pilihan tersebut sebagai medium untuk membentuk kultur partai. Partai sesungguhnya adalah agregasi dalam sekumpulan orang. Karenanya, partai memiliki ideology. Memiliki world view, sebuah cara untuk memandang dunia. Berdasarkan cara pandang dunia inilah, sekumpulan orang mengelola dan menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar bangsa. Apa jadinya jika sekumpulan orang didalam sebuah partai maupun para pendukungnya memiliki world view yang berbeda-beda?

Sangat mungkin yang terjadi adalah politik pragmatis. Politik yang tidak dilandasi idealisasi terhadap dunia yang dituju. Pola ini sangat membahayakan karena sangat potensial memungkiri kenyataan bahwa suara rakyat adalah keutamaan yang dijunjung. Politik berjalan tak tentu arah dan liar.

Karena itu menetapkan pilihan yang diawali kritisme untuk kemudian memperjuangkannya habis-habisan adalah praksis membentuk ataupun memelihara kultur, ideology ataupun world view partai. Pada akhirnya partai memiliki road map yang jelas, akan dibawa kemana masyarakat Indonesia . Hanya sedikit partai yang memiliki ideology yang jelas. Sebagian besar adalah upaya-upaya pengorganisasian kepentingan baik kelompok maupuin primordial untuk kepentingan kelompoknya semata. Sejarah Indonesia memberikan banyak pelajaran bagi masyarakat Indonesia , mana partai yang memiliki landasan ideologis yang jelas dan mana yang tidak, bahkan semata memungutnya ditengah jalan.

Gaza: Don't Cry For Me!

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

"Perlawanan (melawan Israel) adalah benar...
bersabarlah dan tabah.
Kemenangan akan datang,"
(Khaled Meshaal)

Hampir empat dasawarsa yang lalu, seorang humanis yang cerdas bernama Dom Helder Camara, menulis sebuah buku fenomenal yang menginspirasi banyak orang perihal kekerasan sebagai sebuah gejala modernitas (Spiral of violence, Sheed and Ward, London 1971). Ia melahirkan sebuah pandangan perihal adanya spiral kekerasan (spiral of violence) dalam relasi kekuasaan yang tak berujung.

Camara adalah seorang pejuang kemanusiaan dan perdamaian yang bisa disejajarkan dengan Mahatma Gandhi atau Martin Luther King Jr. Ia senantiasa menyerukan kepada semua umat untuk bersatu dan menyatukan visi demi melawan musuh nyata ketidakadilan. Teori spiral kekerasan dihasilkannya dari pengalaman hidup sebagai pemuka agama, pekerja sosial, dan aktivis perdamaian. Hidupnya membuahkan teori tentang kekerasan yang orisinil, tajam, dan berakar pada realitas hidup. Teori ini menjelaskan bekerjanya tiga bentuk kekerasan personal, institusional, dan struktural, yang bisa berupa ketidakadilan, kerusuhan sosial, dan represi negara. Ketika kekerasan susul-menyusul silih berganti, dunia jatuh ke dalam spiral kekerasan.

Spiral kekerasan merupakan penjelasan atas bekerjanya tiga bentuk kekerasan yang bersifat personal, institusional dan struktural. Kekerasan melahirkan manifestasi ketidakadilan, memicu perlawanan dan menimbulkan represi yang juga melahirkan kekerasan baru. Menurut. Camara seorang humanis, meyakini perdamaian dan keadilan tidak bisa diraih selama kekerasan masih terus terjadi. Apalagi kekerasan merupakan realitas multidimensi dan penuh kompleksitas, tidak bisa dipisahkan keterkaitan kekerasan satu dengan yang lainnya. Dari ketiga bentuk kekerasan itu yang paling mendasar dan menjadi sumber kekerasan adalah ketidakadilan ”penindasan”. Ditegaskan Camara, ketidakadilan merupakan kekerasan nomor 1 yang bisa menimpa gejala pada perseorangan, kelompok, maupun negara, yang diakibatkan oleh bekerjanya ketidakadilan.

*****

Gaza, adalah cerita pilu. Tidak kurang Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Senin (12/1), dengan perbandingan suara 33 setuju, 1 menolak, dan 13 abstain, mengeluarkan sebuah resolusi mengenai pelanggaran berat HAM terkait dengan operasi militer Israel terhadap wilayah pendudukan Jalur Gaza.Resolusi Dewan HAM PBB itu mengecam keras ofensif militer Israel di Gaza dan menegaskan bahwa serangan itu telah menimbulkan pelanggaran masif terhadap hak asasi rakyat Palestina. Resolusi itu juga menilai Israel secara sistematis menghancurkan infrastruktur Palestina dan menjadikan warga sipil serta fasilitas medis sebagai target serangan.

Disinilah kita bisa melihat Gaza dalam lensa Camara. Kekerasan tidak akan pernah berhenti. Kekerasan pada akhirnya akan melahirkan kekerasan yang baru. Rakyat Palestina adalah symbol nyata sebuah perlawanan. Perlawanan tak kenal lelah. Beberapa analis yang mengikuti perspektif Israel meyakini bahwa kekerasan militer pembumi hangusan yang dilakukan Israel akan berujung pada lumpuhnya perlawanan Hamas. Lalu apa kata pemimpin Hamas ? "Perlawanan (melawan Israel) adalah benar... bersabarlah dan tabah. Kemenangan akan datang," kata Pemimpin Biro Politik Hamas Khaled Meshaal kepada 1,5 juta warga di wilayah itu.

Ini cukup untuk menunjukan indikasi bahwa kekerasan sulit untuk berakhir. Hal yang sangat mungkin terjadi adalah Hamas justru akan semakin kuat. Dukungan moril secara global menunjukan bahwa kekerasan brutal Israel adalah sebuah kekeliruan besar. Budaya global sesungguhnya telah terbentuk sebagai cinta damai. Amerika dan Israel, sekutunya, justru adalah pengagum sekaligus pencinta kekerasan. Buya Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhamadiyah, bahkan mengatakan bahwa Amerika adalah imperialis kesiangan. Disaat negara-negara Eropa telah tobat, Amerika muncul belakangan melahirkan pola-pola usang imperialis. Anehnya justru berbarengan dengan retorika gombal sebagai promotor utama demokrasi.

Dalam konteks Gaza, baik AS maupun Israel telah mengalami penurunan mental, mengingat kekuatan untuk menggertak (power of detterence) mereka yang mulai diragukan. Kemampuan ini semakin terkikis dengan ketidakjelasan tujuan serangan AS di Irak maupun saat Hezbollah di Lebanon selatan mampu bertahan dari gempuran Israel. Seperti halnya Hezbollah, Hamas akan menyatakan dirinya menang. Hamas menunjukkan diri mampu bertahan menghadapi gempuran langsung dari kekuatan militer yang jauh lebih besar. Apakah ujung dari perostiwa ini ? Hikmah apa yang dapat diambil masyarakat dunia atas tindakan membabi buta Israel tersebut ?

Implikasi terbesar dari peristiwa ini bisa jadi merupakan kabar gembira, kado awal tahun bagi muslim dunia. Inilah petunjuk bahwa kekerasan kehilangan raison d’etre nya. Masyarakat global menjadi semakin melek bahwa apa yang dituding sebagai terorisme muslim sebenarnya hanyalah akibat dari ketidakadilan yang menimpa muslim dalam sejarah era modern. Bekal jihad dan perlawanan terhadap ketidakadilan menempati porsi terbesar relasi masyarakat muslim dunia dengan kekuatan-kekuatan utama dunia. Jihad semakin mengerucut pada makna nya yang substansial, perlawanan terhadap ketidakadilan!

Politik, Kembali pada Keluarga

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Keluarga dan politik sesungguhnya menjadi dua kata yang menarik, mengingat keduanya sangat mungkin disimpulkan pada kata lain yang memiliki konotasi buruk, yaitu nepotisme, bahkan politik dinasti. Namun, sesungguhnya keluarga mesti memperoleh perhatian penuh mengingat perannya yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian politik.

Panggung politik Indonesia bisa jadi merupakan potret menarik bagaimana keluarga ditempatkan oleh masyarakat kita. Perilaku sikut kanan kiri bagi sebuah tujuan kepentingan. Di parlemen, kita mencermati begitu terbukanya para anggota parlemen mempertontonkan budaya korup, kekerasan, dan apatis terhadap kepentingan publik.

Di pemerintahan kita menyaksikan eksekusi kebijakan yang cacat secara moral, misalnya mengabaikan korban Lapindo, dengan membiarkan mereka hidup tak beraturan, yang hancur sistem sosialnya karena tenggelam ditelan lumpur. Bahkan pengabaian hak-hak rakyat mengarah pada sebuah ketidakpedulian yang akut. Sebuah televisi asing menayangkan kelaparan yang terjadi disebuah kabupaten di NTT, nyaris lebih parah dari apa yang dialami negara-negara miskin di Afrika. Hal yang aneh untuk negeri yang diklaim telah swasebada pangan.

Banyak hal runyam, sesungguhnya bisa dilacak dari institusi keluarga. Ilmuwan sosial sangat meyakini kedudukan keluarga sebagai institusi terpenting bagi seseorang melalui proses “menjadi”. Terminologi ini merujuk pada pembagian Eric Fromm, perihal apa yang disebutnya “menjadi” dan “memiliki”. Memiliki adalah konsep materialistis atas perilaku manusia, sedangkan “menjadi” adalah konsep yang meniscayakan prosesual. Banyak proses mendasar yang terjadi dalam kehidupan awal manusia terjadi didalam keluarga.

Konteks modernitas sesungguhnya telah menjadikan keluarga sebagai instrument penyokong modernitas itu sendiri. Iklan-iklan di televisi menempatkan keluarga sebagai sasaran pemasaran produk mereka. Keluarga adalah basis kapitalisme. Disini, keluarga seolah-olah tidak lagi memiliki benteng yang kuat untuk membendung pengaruh tersebut. Anggota-anggota keluarga telah dipecah-pecah dalam segmentasi yang tegas berdasarkan riset perilaku konsumen. Mengingat kesukaan sang bapak bisa berbeda dengan sang ibu dan anaknya, maka diformulasi lah produk yang melingkupi seluruh anggota keluarga. Anehnya, banyak yang menganggap bahwa modernitas ramah dengan keluarga.

Bagaimana dengan dunia politik ? Terdapat tantangan yang kuat dalam keluarga-keluarga Indonesia yaitu besarnya potensi konflik. Partai politik layaknya membuat penawaran produk. Tersedia secara berbeda pilihan bagi para remaja sebagai pemilih pemula, perempuan, maupun para lelaki. Konsistensi terhadap segmentasi ini membuat anggota keluarga mengembangkan pola relasi yang penuh curiga, tidak intim, apalagi harmonis.

Disisi lain, keluarga dapat mengalami ancaman yang terberat akibat kesalahan memilih pemimpin. Saat ini kita bisa melihat bagaimana masyarakat mengalami sakit yang luar biasa. Tingginya angka bunuh diri yang dilakukan oleh anggota keluarga, kekerasan dalam tangga, traficking, tingginya angka perceraian, dll. Ini semua merupakan cermin masyarakat yang sakit. Semua itu merupakan persoalan yang mengancam eksistensi keluarga. Jadi keluarga tidak boleh semata dilihat terpisah dari politik. Karena itu kembali pada keluarga merupakan gagasan yang bijak. Mengapa ?

Mengikuti anjuran para psikolog behavioral, individu dimasa-masa awal pertumbuhan mentalnya mengalami proses belajar sosial yang akan mempengaruhi perilakunya dikemudian hari. Mereka akan meniru apa yang orang dewasa lakukan. Bahkan bagi para psikolog psikoanalisa, kecenderungan pembelajaran dan pengalaman di masa kecil akan membatu dan akan membentuk sebuah sistem yang menentukan pola perilakunya dimasa dewasa. Selain itu bagi para psikolog humanistik, individu akan membangun makna yang berbeda atas kenyataan yang dijumpainya. Proses pembangunan makna ini sangat dipengaruhi juga oleh pengalamannya setiap hari. Tentu saja dalam proses pengembangan kepribadiannya dimasa kecil.

Dari pandangan-pandangan para psikolog tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pengalaman hidup akan mempengaruhi pandangan dunia (world view). Disinilah letaknya proses pembelajaran politik bisa diletakkan dalam proses pembangunan politik berbasis keluarga. Sangat mungkin politik dimaknai sebagai berlumuran dengan musuh, kebohongan, keculasan, dan kepentingan fana-duniawi, ditopang sikap mencari untung demi kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Bahkan, bila perlu menikam teman maupun lawan politiknya. Lebih parah lagi, dalam bahasa YB Mangunwijaya (1997), dunia politik digenangi dan dirembesi jiwa korup, mental mencuri, bohong, main tipu, suka yang semu, urik, tidak kenal fair play.

Jika demikian, tentu tidak ada orang tua yang ingin mengajari anaknya dengan politik dalam perspektif seperti itu. Politik mesti dimaknai sebagai jalan bagi pengelolaan kepentingan untuk memperoleh manfaat dari kehidupan. Jika demikian, agama pun dapat disandingkan dengan politik. Mengajari anak untuk menghargai pendapat orang lain, toleran, kesetaraan, moderasi, inklusif, adil, dan berjiwa merdeka, sesungguhnya mengajari mereka kepribadian demokratis.

Tentu saja, keluarga bukanlah institusi yang kedap sosial. Kerjasama yang baik antara keluarga, institusi pendidikan, dan komunitas disekitar, akan menjadi persemaian yang baik bagi bibit-bibit politisi terbaik. Politisi yang ramah terhadap keluarga, adalah politisi yang berasal darinya, dan mengerti betul persoalan-persoalan mendasar keluarga Indonesia.

Krisis Komunikasi Politik

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Dalam esai-esainya yang cerdas, Jurgen Habermas menyatakan, maraknya berbagai bentuk unjuk rasa dalam masyarakat kontemporer, mengisyaratkan terjadinya krisis sosiokultural yang menuju krisis solidaritas sosial. Karena itu, filsuf Jerman ini menekankan perlunya dibangun kembali etika komunikasi, yakni suatu kondisi komunikasi yang menjamin sifat umum norma-norma yang dapat diterima dan menjamin otonomi warga melalui kemampuan emansipatoris, sehingga menghasilkan proses pembentukan kehendak bersama lewat perbincangan.

Ide inilah yang semestinya menjadi dasar diskursus politik menjelang perjelatan besar lima tahunan, pemilu 2009. Hal ini karena sangat lazim atmosfir komunikasi politik dimasa-masa tersebut diisi oleh tipu muslihat pengetahuan publik, bias media, dan pengelolaan citra yang berlebihan. Tentu saja ini cenderung dilakukan oleh aktor yang memiliki kelebihan sumber daya, baik ekonomi maupun politik. Mencermati isi televisi saat ini, masyarakat disuguhi kepercayaan bahwa semua telah berjalan sesuai rencana, kehidupan menjadi lebih baik, bahwa masa kini adalah perbaikan besar-besaran atas kegagalan rezim masa lalu.

Suguhan tersebut, dengan terang benderang telah melecehkan kemampuan masyarakat untuk memahami keadaan historis mereka sendiri. Masyarakat divonis ’amnesia’, bahkan mengalami sindrom harus mencintai pelaku kekerasan yang melukainya. Bahwa masyarakat mengalami penurunan kualitas hidup karena buruknya pelayanan publik sebagai akibat langsung dari kebijakan negara, menjadi barang langka dalam komunikasi politik pemerintah.

Pengambil kebijakan justru menyibukkan diri dengan upaya mengambil hati rakyat. Polah menjadi seperti pesolek. Perspektif ini mengadopsi habis kultur media sebagai media representasi. Departemen-departemen menjadi langganan setia media. Singkatnya, jika depertemen anda ingin dikatakan berhasil dalam menjalankan program-program, maka beriklanlah di media massa, katakan semua pencapaian, bahkan disaat rakyat kebanyakan pun tidak merasakan hasilnya.

Hal lain yang lebih menakutkan adalah dikotomi pemenang dan pecundang. Mengingat dalam setiap pertarungan, pemenang hanya satu, yang lainnya adalah lawannya. Dan lawan harus menjadi pecundang. Masyarakat dipaksa mendekonstruksi semua atribut dan sentiment pemenang yang melekat pada diri sang pecundang. Apa hasilnya ? Masyarakat berkelahi. Masyarakat semata menjadi instrumen politik yang dihadirkan pada saat pemilu. Karena masyarakat penting dalam konteks tawar menawar politik. Terutama masyarakat yang marah.

Masyarakat yang marah dalam beberapa hal memang berhasil menimbulkan demokrasi, sebagai contoh peristiwa Mei 98. Namun sedikit bukti bahwa demokrasi tumbuh sehat dari masyarakat yang penuh curiga dan mengembangkan kemarahan karena eksploitasi sentiment dan atribut-atribut irrasional. Masyarakat yang marah, apalagi masyarakat yang saling bertikai, justru sebaliknya, berpotensi menghancurkan pencapaian-pencapaian dan pembangunan demokrasi.

Oleh karena itu, didasari oleh pengalaman pilkada akhir-akhir ini, misalnya, dibutuhkan usaha-usaha penyadaran pada tingkat elit, akan pentingnya mengembangkan demokrasi yang didasari oleh pilihan-pilihan etis, rasional dan objektif. Elit harus menyadari sepenuhnya bahwa dukungan emosional, juga akan berbuntut pada resistensi emosional, sesaat ketika hati publik tidak berkenaan terhadapnya. Sebaliknya jika dukungan bersifat rasional, maka segala kebijakan yang diambil saat ia menang akan senantiasa dicermati secara rasional dan objektif pula. Karena rasionalitas lebih stabil ketimbang irrasionalitas.

Komunikasi sesungguhnya layaknya perekat sosial (social glue). Fungsinya membangun harmoni sosial dalam kondisi, kesetaraan, sukarela dan tanpa tekanan. Intinya komunikasi merupakan pra syarat penghargaan terhadap manusia. Islam sangat familiar dengan gagasan semacam ini. Berkaitan dengan konsep tauhid, misalnya, Islam sangat memperhitungkan: adanya tujuan dalam penciptaan makhluk, dan; memerdekakan dan membebaskan manusia dari perbudakan dan penghambaan pada berbagai kekuatan di luar Tuhan.

Oleh karena itu, demi tegaknya pandangan ini maka diperlukan pengabdian sepenuhnya pada Tuhan dan hal tersebut berarti menolak setiap jenis kekuasaan intelektual, budaya, politik, ekonomi, dll, yang merendahkan manusia. Artinya, semakin jelas bahwa komunikasi politik yang berangkat dari prinsip-prinsip tauhid adalah komunikasi penuh kepedulian untuk mengangkat martabat manusia pada tempat yang paling layak. Penghargaan sepenuh hati, pengakuan kedaulatan dan melawan setiap jenis usaha untuk merendahkannya.

Inilah yang ingin dikatakan Habermas pada uraian pembuka, bahwa perlu dibangun kembali etika komunikasi, yakni suatu kondisi komunikasi yang menjamin sifat umum norma-norma yang dapat diterima dan menjamin otonomi warga melalui kemampuan emansipatoris, sehingga menghasilkan proses pembentukan kehendak bersama lewat diskursus.

Disisi ini, masyarakat bukanlah pengagum para pesolek. Masyarakat bukanlah sasaran kampanye. Masyarakat adalah partner emansipatoris. Masyarakat bukanlah peminta-minta. Namun, mereka adalah pionir, aktor, para inisiator, minimal untuk kebutuhan survival mereka sendiri. Masyarakat adalah pelaku komunikasi publik, dan darinyalah para elit mestinya belajar memahami dan berempati. Elit mesti mampu mengekstraksi kehendak publik. Berbeda dengan elit yang memiliki tendensi manipulatif. Publik sulit berbohong, karena mereka agregat dari kepentingan orang banyak.

Dengan demikian setiap kebijakan benar-benar merupakan ’kehendak bersama’, bukan semata kehendak elit. Karena itu, menjadi pendengar aktif suara publik, yang berbicara dalam semua lini dari komunikasi publik, merupakan salah satu bentuk kecerdasan politis, sekaligus ciri kepribadian demokratis.

Krisis Komunikasi Politik

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Dalam esai-esainya yang cerdas, Jurgen Habermas menyatakan, maraknya berbagai bentuk unjuk rasa dalam masyarakat kontemporer, mengisyaratkan terjadinya krisis sosiokultural yang menuju krisis solidaritas sosial. Karena itu, filsuf Jerman ini menekankan perlunya dibangun kembali etika komunikasi, yakni suatu kondisi komunikasi yang menjamin sifat umum norma-norma yang dapat diterima dan menjamin otonomi warga melalui kemampuan emansipatoris, sehingga menghasilkan proses pembentukan kehendak bersama lewat perbincangan.

Ide inilah yang semestinya menjadi dasar diskursus politik menjelang perjelatan besar lima tahunan, pemilu 2009. Hal ini karena sangat lazim atmosfir komunikasi politik dimasa-masa tersebut diisi oleh tipu muslihat pengetahuan publik, bias media, dan pengelolaan citra yang berlebihan. Tentu saja ini cenderung dilakukan oleh aktor yang memiliki kelebihan sumber daya, baik ekonomi maupun politik. Mencermati isi televisi saat ini, masyarakat disuguhi kepercayaan bahwa semua telah berjalan sesuai rencana, kehidupan menjadi lebih baik, bahwa masa kini adalah perbaikan besar-besaran atas kegagalan rezim masa lalu.

Suguhan tersebut, dengan terang benderang telah melecehkan kemampuan masyarakat untuk memahami keadaan historis mereka sendiri. Masyarakat divonis ’amnesia’, bahkan mengalami sindrom harus mencintai pelaku kekerasan yang melukainya. Bahwa masyarakat mengalami penurunan kualitas hidup karena buruknya pelayanan publik sebagai akibat langsung dari kebijakan negara, menjadi barang langka dalam komunikasi politik pemerintah.

Pengambil kebijakan justru menyibukkan diri dengan upaya mengambil hati rakyat. Polah menjadi seperti pesolek. Perspektif ini mengadopsi habis kultur media sebagai media representasi. Departemen-departemen menjadi langganan setia media. Singkatnya, jika depertemen anda ingin dikatakan berhasil dalam menjalankan program-program, maka beriklanlah di media massa, katakan semua pencapaian, bahkan disaat rakyat kebanyakan pun tidak merasakan hasilnya.

Hal lain yang lebih menakutkan adalah dikotomi pemenang dan pecundang. Mengingat dalam setiap pertarungan, pemenang hanya satu, yang lainnya adalah lawannya. Dan lawan harus menjadi pecundang. Masyarakat dipaksa mendekonstruksi semua atribut dan sentiment pemenang yang melekat pada diri sang pecundang. Apa hasilnya ? Masyarakat berkelahi. Masyarakat semata menjadi instrumen politik yang dihadirkan pada saat pemilu. Karena masyarakat penting dalam konteks tawar menawar politik. Terutama masyarakat yang marah.

Masyarakat yang marah dalam beberapa hal memang berhasil menimbulkan demokrasi, sebagai contoh peristiwa Mei 98. Namun sedikit bukti bahwa demokrasi tumbuh sehat dari masyarakat yang penuh curiga dan mengembangkan kemarahan karena eksploitasi sentiment dan atribut-atribut irrasional. Masyarakat yang marah, apalagi masyarakat yang saling bertikai, justru sebaliknya, berpotensi menghancurkan pencapaian-pencapaian dan pembangunan demokrasi.

Oleh karena itu, didasari oleh pengalaman pilkada akhir-akhir ini, misalnya, dibutuhkan usaha-usaha penyadaran pada tingkat elit, akan pentingnya mengembangkan demokrasi yang didasari oleh pilihan-pilihan etis, rasional dan objektif. Elit harus menyadari sepenuhnya bahwa dukungan emosional, juga akan berbuntut pada resistensi emosional, sesaat ketika hati publik tidak berkenaan terhadapnya. Sebaliknya jika dukungan bersifat rasional, maka segala kebijakan yang diambil saat ia menang akan senantiasa dicermati secara rasional dan objektif pula. Karena rasionalitas lebih stabil ketimbang irrasionalitas.

Komunikasi sesungguhnya layaknya perekat sosial (social glue). Fungsinya membangun harmoni sosial dalam kondisi, kesetaraan, sukarela dan tanpa tekanan. Intinya komunikasi merupakan pra syarat penghargaan terhadap manusia. Islam sangat familiar dengan gagasan semacam ini. Berkaitan dengan konsep tauhid, misalnya, Islam sangat memperhitungkan: adanya tujuan dalam penciptaan makhluk, dan; memerdekakan dan membebaskan manusia dari perbudakan dan penghambaan pada berbagai kekuatan di luar Tuhan.

Oleh karena itu, demi tegaknya pandangan ini maka diperlukan pengabdian sepenuhnya pada Tuhan dan hal tersebut berarti menolak setiap jenis kekuasaan intelektual, budaya, politik, ekonomi, dll, yang merendahkan manusia. Artinya, semakin jelas bahwa komunikasi politik yang berangkat dari prinsip-prinsip tauhid adalah komunikasi penuh kepedulian untuk mengangkat martabat manusia pada tempat yang paling layak. Penghargaan sepenuh hati, pengakuan kedaulatan dan melawan setiap jenis usaha untuk merendahkannya.

Inilah yang ingin dikatakan Habermas pada uraian pembuka, bahwa perlu dibangun kembali etika komunikasi, yakni suatu kondisi komunikasi yang menjamin sifat umum norma-norma yang dapat diterima dan menjamin otonomi warga melalui kemampuan emansipatoris, sehingga menghasilkan proses pembentukan kehendak bersama lewat diskursus.

Disisi ini, masyarakat bukanlah pengagum para pesolek. Masyarakat bukanlah sasaran kampanye. Masyarakat adalah partner emansipatoris. Masyarakat bukanlah peminta-minta. Namun, mereka adalah pionir, aktor, para inisiator, minimal untuk kebutuhan survival mereka sendiri. Masyarakat adalah pelaku komunikasi publik, dan darinyalah para elit mestinya belajar memahami dan berempati. Elit mesti mampu mengekstraksi kehendak publik. Berbeda dengan elit yang memiliki tendensi manipulatif. Publik sulit berbohong, karena mereka agregat dari kepentingan orang banyak.

Dengan demikian setiap kebijakan benar-benar merupakan ’kehendak bersama’, bukan semata kehendak elit. Karena itu, menjadi pendengar aktif suara publik, yang berbicara dalam semua lini dari komunikasi publik, merupakan salah satu bentuk kecerdasan politis, sekaligus ciri kepribadian demokratis.

Krisis Komunikasi Politik

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Dalam esai-esainya yang cerdas, Jurgen Habermas menyatakan, maraknya berbagai bentuk unjuk rasa dalam masyarakat kontemporer, mengisyaratkan terjadinya krisis sosiokultural yang menuju krisis solidaritas sosial. Karena itu, filsuf Jerman ini menekankan perlunya dibangun kembali etika komunikasi, yakni suatu kondisi komunikasi yang menjamin sifat umum norma-norma yang dapat diterima dan menjamin otonomi warga melalui kemampuan emansipatoris, sehingga menghasilkan proses pembentukan kehendak bersama lewat perbincangan.

Ide inilah yang semestinya menjadi dasar diskursus politik menjelang perjelatan besar lima tahunan, pemilu 2009. Hal ini karena sangat lazim atmosfir komunikasi politik dimasa-masa tersebut diisi oleh tipu muslihat pengetahuan publik, bias media, dan pengelolaan citra yang berlebihan. Tentu saja ini cenderung dilakukan oleh aktor yang memiliki kelebihan sumber daya, baik ekonomi maupun politik. Mencermati isi televisi saat ini, masyarakat disuguhi kepercayaan bahwa semua telah berjalan sesuai rencana, kehidupan menjadi lebih baik, bahwa masa kini adalah perbaikan besar-besaran atas kegagalan rezim masa lalu.

Suguhan tersebut, dengan terang benderang telah melecehkan kemampuan masyarakat untuk memahami keadaan historis mereka sendiri. Masyarakat divonis ’amnesia’, bahkan mengalami sindrom harus mencintai pelaku kekerasan yang melukainya. Bahwa masyarakat mengalami penurunan kualitas hidup karena buruknya pelayanan publik sebagai akibat langsung dari kebijakan negara, menjadi barang langka dalam komunikasi politik pemerintah.

Pengambil kebijakan justru menyibukkan diri dengan upaya mengambil hati rakyat. Polah menjadi seperti pesolek. Perspektif ini mengadopsi habis kultur media sebagai media representasi. Departemen-departemen menjadi langganan setia media. Singkatnya, jika depertemen anda ingin dikatakan berhasil dalam menjalankan program-program, maka beriklanlah di media massa, katakan semua pencapaian, bahkan disaat rakyat kebanyakan pun tidak merasakan hasilnya.

Hal lain yang lebih menakutkan adalah dikotomi pemenang dan pecundang. Mengingat dalam setiap pertarungan, pemenang hanya satu, yang lainnya adalah lawannya. Dan lawan harus menjadi pecundang. Masyarakat dipaksa mendekonstruksi semua atribut dan sentiment pemenang yang melekat pada diri sang pecundang. Apa hasilnya ? Masyarakat berkelahi. Masyarakat semata menjadi instrumen politik yang dihadirkan pada saat pemilu. Karena masyarakat penting dalam konteks tawar menawar politik. Terutama masyarakat yang marah.

Masyarakat yang marah dalam beberapa hal memang berhasil menimbulkan demokrasi, sebagai contoh peristiwa Mei 98. Namun sedikit bukti bahwa demokrasi tumbuh sehat dari masyarakat yang penuh curiga dan mengembangkan kemarahan karena eksploitasi sentiment dan atribut-atribut irrasional. Masyarakat yang marah, apalagi masyarakat yang saling bertikai, justru sebaliknya, berpotensi menghancurkan pencapaian-pencapaian dan pembangunan demokrasi.

Oleh karena itu, didasari oleh pengalaman pilkada akhir-akhir ini, misalnya, dibutuhkan usaha-usaha penyadaran pada tingkat elit, akan pentingnya mengembangkan demokrasi yang didasari oleh pilihan-pilihan etis, rasional dan objektif. Elit harus menyadari sepenuhnya bahwa dukungan emosional, juga akan berbuntut pada resistensi emosional, sesaat ketika hati publik tidak berkenaan terhadapnya. Sebaliknya jika dukungan bersifat rasional, maka segala kebijakan yang diambil saat ia menang akan senantiasa dicermati secara rasional dan objektif pula. Karena rasionalitas lebih stabil ketimbang irrasionalitas.

Komunikasi sesungguhnya layaknya perekat sosial (social glue). Fungsinya membangun harmoni sosial dalam kondisi, kesetaraan, sukarela dan tanpa tekanan. Intinya komunikasi merupakan pra syarat penghargaan terhadap manusia. Islam sangat familiar dengan gagasan semacam ini. Berkaitan dengan konsep tauhid, misalnya, Islam sangat memperhitungkan: adanya tujuan dalam penciptaan makhluk, dan; memerdekakan dan membebaskan manusia dari perbudakan dan penghambaan pada berbagai kekuatan di luar Tuhan.

Oleh karena itu, demi tegaknya pandangan ini maka diperlukan pengabdian sepenuhnya pada Tuhan dan hal tersebut berarti menolak setiap jenis kekuasaan intelektual, budaya, politik, ekonomi, dll, yang merendahkan manusia. Artinya, semakin jelas bahwa komunikasi politik yang berangkat dari prinsip-prinsip tauhid adalah komunikasi penuh kepedulian untuk mengangkat martabat manusia pada tempat yang paling layak. Penghargaan sepenuh hati, pengakuan kedaulatan dan melawan setiap jenis usaha untuk merendahkannya.

Inilah yang ingin dikatakan Habermas pada uraian pembuka, bahwa perlu dibangun kembali etika komunikasi, yakni suatu kondisi komunikasi yang menjamin sifat umum norma-norma yang dapat diterima dan menjamin otonomi warga melalui kemampuan emansipatoris, sehingga menghasilkan proses pembentukan kehendak bersama lewat diskursus.

Disisi ini, masyarakat bukanlah pengagum para pesolek. Masyarakat bukanlah sasaran kampanye. Masyarakat adalah partner emansipatoris. Masyarakat bukanlah peminta-minta. Namun, mereka adalah pionir, aktor, para inisiator, minimal untuk kebutuhan survival mereka sendiri. Masyarakat adalah pelaku komunikasi publik, dan darinyalah para elit mestinya belajar memahami dan berempati. Elit mesti mampu mengekstraksi kehendak publik. Berbeda dengan elit yang memiliki tendensi manipulatif. Publik sulit berbohong, karena mereka agregat dari kepentingan orang banyak.

Dengan demikian setiap kebijakan benar-benar merupakan ’kehendak bersama’, bukan semata kehendak elit. Karena itu, menjadi pendengar aktif suara publik, yang berbicara dalam semua lini dari komunikasi publik, merupakan salah satu bentuk kecerdasan politis, sekaligus ciri kepribadian demokratis.