Minggu, 01 Maret 2009

Jangan Khianati Rakyat !

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Apa yang sebenarnya yang membuat masyarakat memilih seseorang dalam pemilu legislatif nanti ? Pertanyaan ini sangat menggelitik, sekaligus menyita banyak perhatian para calon anggota legislatif (caleg). Karena minimnya pengetahuan tentang hal itu, maka perilaku caleg menjadi aneh-aneh. Para caleg seolah-olah mampu membuat estimasi bahwa apa yang mereka perbuat serta merta akan membuat masyarakat akan tertarik, suka, lalu memilihnya.

Terjemahan dari estimasi tersebut adalah memperbanyak iklan, membagi-bagikan bingkisan, dll. Estimasi tersebut melupakan begitu dinamis nya masyarakat dalam merespon pemilu legislatif kali ini. Dalam beberapa hal, ‘politisi’ sesungguhnya adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat semakin melek politik. Masyarakat tidak ingin semata dijadikan objek dalam pemilu kali ini.

Jika merujuk pada studi perilaku pemilih, maka pertanyaan ini sesungguhnya menyimpan jawaban yang kompleks. Selain sebagai makhluk individual, individu juga merupakan makhluk sosial. Studi-studi psikologis akan membuat penjelasan bahwa pilihan-pilihan seseorang akan sangat dipengaruhi oleh karakter psikologisnya, dalam hal ini adalah kepribadiannya. Pandangan ini sifatnya sangat individual dan internal.

Namun terdapat juga pemikiran bahwa individu sesungguhnya juga mampu berpikir rasional dalam membuat pilihan-pilihannya (rational choice). Pandangan ini untuk mengatasi sementara pandangan bahwa individu sangat emosional ketika membuat pilihan.

Selanjutnya, studi-studi sosiologis lebih banyak merujuk pada kondisi-kondisi struktural kemasyarakatan sebagai determinan bagi individu dalam menentukan pilihannya. Individu sangatlah dinamis. Sejauh kondisi strukturalnya berubah maka individu juga cenderung berubah. Tidak ada pola yang tetap. Jika demikian, maka siapa caleg yang mampu mendeteksi kondisi-kondisi struktural ini maka itu sudah merupakan poin penting untuk menerjemahkannya dalam komunikasi dengan para pemilih.

Namun, sesungguhnya terdapat penjelasan lain untuk memahami fenomena tersebut. Individu juga ternyata adalah pencari makna hidup. Individu membuat kategorisasi terhadap para caleg, mana caleg yang memenuhi ekspektasi mereka. Bukan semata persoalan keinginan karena dorongan kepribadian. Bukan juga semata kondisi struktural. Tapi soal penghindaran atas penghianatan!

Hasil penelitian Litbang Media Group menyebutkan bahwa sebagian besar masyarakat akan memilih caleg yang memiliki integritas, ketimbang empati, maupun kompetensi. Integritas merujuk pada caleg yang bisa dipercaya, empati merujuk pada kemampuan caleg untuk memiliki perasaan senasib dengan masyarakat, sedangkan kompetensi merujuk pada kemampuan caleg dalam menyelesaikan problem-problem di masyarakat. Dari keseluruhan itu integritas menempati isu utama (65%), disusul empati (25%), dan kompetensi (1%) (Metro TV, 12 Februari 2009).

Makna apa yang bisa dipetik dari hasil penelitian tersebut ? Selama ini banyak sekali pemimpin maupun para caleg menawarkan solusi atas persoalan-persoalan masyarakat. Masyarakat justru tidak bergeming. Masyarakat dibujuk bahwa segala persoalan akan selesai jika memilihnya. Para caleg menganggap dirinya seperti panasea. Obat bagi segala persoalan-persoalan masyarakat.

Adapula yang menunjukan ‘prestasi’ yang dianggap telah dicapai, sebagaimana yang dilakukan oleh caleg dari partai yang berkuasa. “Prestasi” itu kemudian menjadi menu bujukan dijalan-jalan dan iklan media massa. Bagi rakyat, “prestasi” itu adalah menu sampingan, menu utamanya adalah kemelaratan dan kemiskinan yang mereka alami.

Masyarakat juga tidak bergeming saat mereka dibanjiri bingkisan oleh para calon. Masyarakat justru bermain-main, karena mereka tidak ingin dibohongi. Kecerdasan ini terkadang luput dari perhatian para politisi. Tapi ini sesungguhnya sehat bagi demokrasi. Dimasa akan datang para politisi semakin cerdas dalam berkomunikasi dengan calon pemilihnya.

Apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat ? Integritas. Mereka yang amanah, bisa dipercaya. Kompetensi tidaklah penting. Bahkan calon pemilih dari kalangan berpendidikan tinggi sekalipun menganggap isu integritas jauh lebih utama (72%). Dikalangan anggota legislatif saat ini cukup banyak orang yang dikenal masyarakat memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat.

Namun, yang terjadi didepan hidung mereka adalah para anggota legislatif tersebut justru mengkhianati para pemilihnya. Kenaikan tunjangan diluar akal sehat, permintaan fasilitas yang berlebihan, wisata dengan alasan studi banding ke luar negeri, korupsi berjamaah, dll. Ini semua ditampilkan ditengah-tengah masyarakat yang tengah terbelit persoalan ekonomi.

Menjadi anggota legislatif justru kemudian dijadikan sebagai ladang mata pencaharian, sekaligus memiliki loby politik untuk mengamankan dirinya dari jerat hukum jika menghadapi masalah. Anggota legislatif kemudian menjadi makhluk yang luar biasa. Ini justru terjadi dengan melakukan penghianatan.

Idealnya, politisi yang diinginkan masyarakat para caleg yang menolak menerima gaji sebagai anggota legislatif, dan mengembalikannya kepada masyarakat. Mereka yang tidak terpana oleh tawaran tahta, harta dan wanita yang kini menjadi persoalan krusial di DPR. Mereka yang bekerja demi kemaslahatan masyarakat. Mereka yang hadir untuk mengemban amanah. Mereka yang tidak punya pretensi untuk menipu rakyat. Karena rakyat ‘ogah’ terkhianati lagi !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar