Minggu, 01 Maret 2009

Membaca Nasionalisme, Mencermati Perempuan

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

"Kami beri dia makan, tetapi tidak dimakannya, dibawa pulang...Saya merasa malu sedalam-dalamnya atas egoisme saya. Saya memikirkan dan merenungkan keadaan saya sendiri. Saat itu di sekitar saya penuh jeritan dan rintihan orang menderita...menggemalah di sekitar saya: Kerja! Kerja! Kerjalah! Bebaskan dirimu, bila kau berhasil membebaskan dirimu dapatlah kau menolong orang lain". (Kpd.E.C Abendanon,1902). Itulah kata-kata Kartini sebagai salah satu pengalaman yang memperkaya dan memecutnya untuk selalu berjuang bagi bangsanya.

Memahami nasionalisme dengan mencermati perempuan memang cukup rumit. Mengingat gagasan nasionalisme pada awalnya sangatlah maskulin. Nasionalisme Indonesia bahkan jalin menjalin dengan militerisme. Ini muncul mengingat basis nasionalisme Indonesia adalah usaha untuk terlepas dari opresi kolonialis. Konteks ini dipahami sebagai manivestasi perjuangan militer. Alhasil, nasionalisme Indonesia sangatlah maskulin.

Jika menyimak kata-kata Kartini, jelas sekali bahwa konteks nasionalisme Indonesia dilihat lebih mendasar, yaitu kemiskinan dan ikhtiar untuk perubahan. Kolonialisme di Indonesia memang melemahkan daya hidup secara luar biasa. Pengekangan tidak saja mewujud secara fisik, tetapi juga persepsi diri. Persepsi bahwa ketertindasan merupakan sesuatu yang given. Sesuatu yang terberi, hingga bahkan melumpuhkan gagasan alternatif untuk perubahan.

Tentu ini merupakan sesuatu yang terbangun kokoh mengingat begitu kuatnya akar kolonialisme. Karena itu penyadaran kembali sebenarnya lebih tampak sebagai usaha sia-sia. Tapi Kartini menulis kata-kata tersebut dengan kesadaran yang tinggi. Sebagai perempuan, sebenarnya Kartini dihadang oleh sejumlah hambatan kultural. Selain soal penyadaran dari persepsi diri sebagai bangsa tertindas, Kartini juga dihadapkan pada hambatan patriarkis disekelilingnya.

Untuk usahanya tersebut, tak kurang sejarahwan George Mc.Turnan Kahin, W.F. Wertheim, dan J.S Furnivall, Petrus Blumberger mengakui bahwa R.A Kartini adalah pengagas pertama nasionalisme Indonesia. Pengalamannya sebagai ningrat Jawa yang membolehkannya sekolah, telah memberi peluang Kartini mendapat pengetahuan dari luar, juga pengaruh ayahnya Bupati Jepara R. M Aria Sostroningrat, telah mendorong lahirnya gagasan nasionalisme, yang bertujuan memajukan Bumiputra.

Dalam catatan Lasminah (2007) gagasan nasionalisme tersebarkan di Indonesia (Hindia Belanda), selain lewat buku Door duirternis tot Licht (1911), gagasan Kartini juga dijadikan pedoman bagi berdirinya de Indische Vereeniging (1908), kemudian menjadi Perhimpunan Indonesia (1922, Mantan Wakil Presiden Indonesia, Mohamad Hatta adalah salah seorang anggotanya) di Belanda atas usul ketuanya R.M Notosoeroto.

Kartini juga menjadi 'Ayunda', kakak bagi pemuda anggota pergerakan nasional Indonesia. "Angkatan muda kita telah mendukung sepenuhnya, 'Jong Java' akan membangun persatuan dan sudah tentu kami menggabungkan,...Mereka menamakan saya 'Ayunda' Saya menjadi kakak mereka, pada siapa mereka setiap waktu dapat datang kalau memerlukan nasehat dan hiburan..." (1902, kpd.Ny.M.Ovink Soer). Surat ini ditulis Kartini, ketika "Jong Java" belum lagi terbentuk. Trikoro Darmo organisasi pergerakan pemuda di pulau Jawa, cikal bakal Jong Java, baru berdiri tahun 1915.

Kartini sudah menekankan persatuan, padahal Negara Kesatuan Republik Indonesia belum lagi ada. Kartini menyatakan pentingnya persatuan, perempuan dan laki-laki bagi kemajuan bangsa. "Kaum muda, perempuan dan laki-laki, seharusnya saling berhubungan...untuk mengangkat martabat bangsa kita. Tetapi jika kita semua bersatu, menyatukan kekuatan kita dan bekerja sama...hasil perkerjaan kita akan lebih besar. Dalam persatuan letaknya kekuatan dan kekuasaan"(1901, kpd. Ny.Abendanon).

Nasionalisme Kartini diungkap lewat surat-suratnya, antara lain: menghargai kekayaan budaya lokal, saling menghargai, membantu pihak yang lemah dan miskin, pendidikan bagi perempuan, keadilan, tanpa kekerasan, kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan (Liberte, Egalite, dan Freternite). Tiga gagasan terakhir Kartini terinspirasi dari Revolusi Perancis, yang digunakan untuk melawan feodalisme, dan dipraktekannya bersama adik- adiknya,"Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan! Adik-adik bergaul bebas dengan saya, di antara mereka sendiri merupakan kawan-kawan bebas dan setara" (1899, kpd. Stella).

Itulah di antaranya gagasan nasionalisme perspektif perempuan. Nasionalisme dengan kesetaraan, merombak adat istiadat yang merugikan. Nasionalisme perspektif Kartini mengacu bagi kemajuan bangsa bumiputra, yang hanya dapat terwujud apabila rakyatnya mendapat, salah satu yang utama yaitu, pendidikan.

Pelajaran berharga apa yang bisa dipetik dari pembacaan terhadap nasionalisme Kartini tersebut? Tidak bisa dielakkan bahwa perspektif Kartini terhadap nasionalisme semakin penting direvitalisasi dimasa kini. Problem Indonesia saat ini menuntut penyelesaian mendasar. Saat itu Kartini menekankan perubahan bisa diperoleh melalui pendidikan. Mengapa? Karena dengan pendidikan seseorang mampu merumuskan kebutuhan intelektual maupun praksisnya.

Tuntutan akan perubahan akan lahir dari kaum yang terdidik. Pendidikan memberikan kesadaran akan pentingnya persatuan dan persaudaran. Ini karena pendidikan membangun wawasan yang luas sehingga menyadari pentingnya kerjasama. Itulah sebenarnya alasan mendasar mengapa pendidikan oleh Kartini, dianggap sebagai oksigen perubahan.

Cita-cita luhur Kartini tersebut belum tercapai sepenuhnya. Ironisnya, cita-cita tersebut terasa semakin jauh, justru disaat kita sebenarnya secara aktual sudah bisa menentukan nasib kita sendiri.

Saat ini negara justru mangkir dari perannya mengayomi hak pendidikan rakyat. Sekolah yang roboh, biaya sekolah tak terjangkau, lembaga pendidikan yang semakin komersil, sekejap melenyapkan cita-cita Kartini. Saat ini kita perlu kembali membaca nasionalisme dengan seksama seraya menengok kembali Kartini sebagai inspirasi. Inspirasi bersama untuk Indonesia yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar