Minggu, 01 Maret 2009

Pilihlah Daku Jadi (Wakil) Mu

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Secara umum, artikel ini mengulas sebuah gejala baru yaitu, Personalisasi Politik. Apa itu personalisasi politik ? Frasa ini mungkin menyimpan banyak kemungkinan pelekatan nilai. Personalisasi politik dalam artikel ini merujuk pada kembalinya individu diakui sebagai representasi perwakilan rakyat. Dalam konteks demokrasi perwakilan, partai politik menyediakan orang-orang yang dapat dipilih rakyat untuk mewakilkan aspirasinya di parlemen. Sejauh ini pandangan tersebut sesungguhnya lazim dalam kontes demokrasi. Pemilu merupakan medan artikulasi politik rakyat untuk menentukan nasib bangsa di masa depan.

Namun demikian itu baru menyentuh demokrasi secara prosedural. Banyak politisi memahami logika seperti itu. Demokrasi secara substansial justru jauh panggang dari api. Implikasinya praktik demokrasi tidak pernah beranjak dari politik kepentingan semata. Praktik demokrasi yang berlandaskan itupula yang membuat partai memiliki peran utama dan sentral. Partai politik sangat mungkin menjadi institusi yang mem by pass kepentingan rakyat. Pada akhirnya yang mengemuka adalah justru kepentingan partai.

Sekalipun kita sepakat bahwa partai politik adalah lembaga yang sangat penting dalam demokrasi, namun urgensi nya sesungguhnya semata sebagai medium atau pencerminan hak warga negara untuk berkumpul/bersyarikat. Dengan berorganisasi, maka artikulasi kepentingan tidaklah subjektif-personal, namun merupakan kondisi objektif warga negara. Jika demikian, maka pesan utama munculnya pranata partai politik adalah medium sekaligus pencerminan kehendak rakyat itu sendiri. Lalu mengapa dikemudian hari, kehendak rakyat justru menjadi raib dalam kesadaran berpartai?

Keputusan MK, yang mengakui suara terbanyak dan bukan nomor urut, sesungguhnya mengembalikan spirit kehendak rakyat. Rakyat tidak lagi terkungkung oleh tirani partai. Sebelumnya partai memiliki otoritas untuk menentuan siapa-siapa yang berhak mendapat rating tertinggi perhatian publik, dengan menempatkan mereka diurutan teratas. Namun pasca keputusan MK, otoritas itu buyar. Otoritas itu kembali kepada rakyat. Dengan kata lain muncul adagium: “Jangan Lihat Partainya, Lihat Orangnya”

Adagium itu sangatlah tepat saat ini. Konflik antar partai yang terjadi di setiap pemilu menyita banyak energi. Sekaligus juga memicu konflik di tingkat akar rumput. Kondisi objektif juga mendorong latar belakang sosial politik dari keputusan MK tersebut. Jika politik aliran masih dipercaya sebagai tolak ukur pembagian ideologis partai-partai di Indonesia, maka saat ini yang terjadi justru sebaliknya.

Yang terjadi adalah ‘dealiranisasi’. Inilah kondisi yang paling realistis dan harus disikapi dengan arif. Partai-partai nasionalis menjadi lebih dekat dengan unsur-unsur keagamaan, terutama Islam, sebaliknya partai-partai Islam semakin menyadari kemajemukan Indonesia. Parai-partai nasionalis tidak bisa lagi menyerobot klaim lebih nasionalis ketimbang partai Islam. Begitupula sebaliknya. Partai-partai yang awal pendiriannya sangat kental nuansa Islam nya, kini semakin dekat dengan unsur-unsur lain dalam masyarakat. Bahkan terdapat partai yang dipersepsi sangat islami, mencalonkan caleg dari kalangan Nasrani.

Sebenarnya keputusan MK ini pada akhirnya mengarah, pada apa yang saya sebut dimuka, sebagai personalisasi politik. Secara akademis, perspektif ini sangat liberal, karena memberikan mandat yang sangat besar pada individu. Pemberian mandat yang besar pada individu memberikan peluang manipulasi juga pada tingkat individual. Namun, ini jauh lebih bisa diawasi ketimbang manipulasi struktural. Mandat individual juga jauh lebh accountable. Dalam konteks ini, individu menawarkan dirinya untuk dipilih, sekaligus satu paket untuk diawasi.

Mengingat pilihan terhadap individu semakin bisa dilepaskan dari sekat-sekat ideologis buatan partai, maka perhatian utama semakin bisa diarahkan pada kepentingan real masyarakat lokal, tempat dimana Daerah Pemilihan (Dapil) calon anggota legislatif. Para caleg berlomba-lomba untuk memberikan yang terbaik justru karena mereka dituntut untuk melayani orang-orang terdekat, yang terkait secara sosial dan kultural. Keputusan MK ini memberikan penguatan terhadap lokalitas. Caleg dari luar yang tak berakar akan merasa khawatir dengan kondisi ini.

Sebelumnya, saat partai masih sangat berkuasa, sangat mungkin partai memasukan orang-orang yang sama sekali tak berakar, bahkan tidak memahami aspirasi masyarakat tempat dimana ia dicalonkan. Ritual mendekati rakyat pemilih hanya dijalankan sejauh mendekati pemilihan umum. Inilah yang membuat cacat praktik demokrasi yang secara subtansial mensyaratkan intensitas relasi antara anggota legislatif dengan masyarakat yang diwakilinya.

Keputusan MK perihal suara terbanyak, sebenarnya bukan tanpa persoalan. Proses ini juga sebenarnya berimplikasi pada tingginya potensi konflik yang muncul dari caleg dari partai dan dapil yang sama. Mengingat tidak ada lagi mana yang anak emas, dan mana yang bukan. Kondisi ini juga berpotensi munculnya politik uang (money politics) dalam usaha merebut hati rakyat. Namun kedua hal itu sesungguhnya semakin tidak relevan ditengah kondisi rakyat yang semakin terdidik dan kritis. Rakyat tidak ingin lagi dijadikan objek perebutan suara.

Pengalaman pemilu 2004, yang menghasilkan angota dewan dan pemerintahan yang tidak aspiratif membuat rakyat semakin waspada. Semakin banyak masyarakat yang sadar dengan kondisi ini. Mengikuti terminologi Freire, mereka telah beranjak dari kondisi naive ke kondisi kritis. Sangat mungkin mereka menyerap money politics tersebut, namun itu semata permainan. Mereka telah mengantongi nama-nama yang diprediksikan menang karena dianggap mampu menyuarakan aspirasi mereka. Mereka tidak ingin berjudi dengan kepentingan mereka lima tahun kedepan.

Jika proses ini berlangsung dengan normal, bisa dipastikan Pemilu 2009 akan menghasilkan anggota dewan yang jauh lebih aspiratif. Hal ini juga karena kerelaan sekaligus kesadaran partai-partai yang akhirnya mampu melihat secara lebih realistis keniscayaan demokrasi di negeri ini. Pasca keputusan MK, partai-partai menjadi jauh lebih matang dalam berpolitik. Ini tentu saja memberikan kontribusi yang sangat besar bagi demokrasi kita. Keputusan MK ini juga menjadikan infrastruktur politik kita menjadi jauh lebih memadai bagi praktik demokrasi. Semoga !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar