Minggu, 01 Maret 2009

Menjadikan Masyarakat "Melek Media"

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group


Apa yang terbayangkan saat seorang anak menonton tayangan kekerasan dalam film-film Hollywood? Bagaimana pula respon seorang ibu menyaksikan sinetron yang dramatis ataupun romantis? Bisa dibayangkan bahwa penonton akan larut didalamnya dan menganggap itu adalah nyata dalam keseharian. Secara umum, masyarakat tidak terlatih saat berinteraksi dengan media.
Teknologi komunikasi terutama televisi, komputer dan internet telah mengambil alih beberapa fungsi sosial manusia (masyarakat), setiap saat kita menyaksikan realitas baru di masyarakat, realitas itu tidak sekedar sebuah ruang yang merefleksikan kehidupan masyarakat nyata dalam alam pikiran manusia, akan tetapi sebuah ruang dimana manusia bisa hidup di dalamnya.
Media massa merupakan salah satu kekuatan yang sangat mempengaruhi umat manusia di abad 21. Media ada di sekeliling kita, media mendominasi kehidupan kita dan bahkan mempengaruhi emosi serta pertimbangan kita. Kita seakan tidak bisa hidup tanpa media massa.
Di balik keterpesonaan pada kecanggihan teknologi media massa, serta kemampuannya untuk memperpanjang kapabilitas manusia (McLuhan, 1966), media massa bagaikan sekeping koin dengan sisi positif dan negatif sekaligus. Ini tercermin dalam pandangan-pandangan yang sangat bertolak belakang dalam hal fungsi dan efek media massa di tengah sistem sosial.
Paradigma fungsionalisme struktural dalam kubu sosiologi memandang media massa sebagai salah satu subsistem yang berfungsi menunjang keberlangsungan sistem sosial. Media massa di sini dimaknai secara positif, memberi kontribusi fungsional bagi pemeliharaan sistem kemasyarakatan yang sehat.
Namun, disisi lain media massa dewasa ini kerap dijejali oleh informasi atau berita-berita yang menakutkan, seperti kekerasan, pencurian, pelecehan seksual, dan sebagainya. Bahkan media massa, kini menjadi penyebar pesan pesimisme. Akibatnya, media massa justeru sangat menakutkan bagi masyarakat. Di negara-negara berkembang, banyak sekali dijumpai kenyataan bahwa harapan-harapan yang diciptakan oleh pesan komunikasi dalam media massa menimbulkan frustrasi, karena tidak terpenuhi harapan yang dipaparkan media itu.
Televisi merupakan media massa yang amat populer dalam masyarakat kita Di Indonesia, berdasarkan survei AGB Nielsen di tahun 2006 ternyata 42,86 sampai 95,83% masyarakat Indonesia suka menonton televisi. Hasil ini lebih lanjut dijelaskan bahwa “Hampir 8 dari 10 orang dewasa di kota-kota besar menonton televisi setiap hari dan 4 dari 10 orang mendengarkan radio”.
Keberadaan televisi di Indonesia menunjukan perkembangan luar biasa. Menjamurnya stasiun televisi menumbuhkan ketatnya persaingan antar industri penyiaran, sehingga "perang" program siaran antar televisi menjadi menu wajib sehari-hari. Program yang ditawarkan berorientasi pada pemenuhan selera pasar,
Dalam kondisi demikian, keberadaan televisi menjelma menjadi representasi kekuatan pasar. Logika ini "mengharuskan" pengelola televisi meletakkan dan memosisikan masyarakat (pemirsa) sebagai potensi pasar (objek) yang harus dimaksimalkan untuk menghasilkan keuntungan ekonomis sebesar-besarnya.
Menonton televisi berbeda dengan budaya baca-tulis. Perkembangan keadaannya jauh melampaui media cetak majalah, koran apalagi buku. Televisi telah menjadi media keluarga, telah menjadi salah satu prasyarat yang "harus" berada di tengah mereka. Sebuah rumah baru dikatakan lengkap jika ada pesawat televisi di dalamnya.
Pengelola media acapkali lupa bahwa mayoritas rnasyarakat kita kurang terdidik, dan karenanya kurang kritis, termasuk yang berada di pedesaan. Mereka juga lupa bahwa sebagian pemirsa adalah anak-anak dan remaja yang cenderung meniru apa yang mereka lihat. Persoalan yang penting dibahas adalah bagaimana kita dapat meminimalkan dampak negatif yang muncul?. Apakah yang harus kita lakukan?.
Di sinilah urgensi literasi media (kesadaran media). Pemberdayaan khalayak pemirsa melalui literasi media sudah selayaknya mendapatkan perhatian serius. Literasi media perlu dilakukan guna memberi pemahaman bagaimana media bekerja, bagaimana media mempengaruhi kehidupan, dan bagaimana kita menggunakan media secara bijak. Melalui literasi media, kita bisa memahami, menganalisis, dan menafsirkan berbagai agenda terselubung dan manipulasi-manipulasi di balik suguhan media.
Konsep media literacy pertama kali muncul pada tahun 1980an, dan kini telah menjadi standar topik kajian di sekolah-sekolah berbagai negara. Secara logis konsep ini tidak muncul dari kalangan media, melainkan dari para aktivis dan akademisi yang peduli dengan dampak buruk media massa yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan kapitalis hingga menafikan kepentingan publik.
Media literacy kerap disalahkaprahkan dengan media education. Media literacy bukanlah media education. Media education memandang media dalam fungsi yang senantiasa positif, yaitu sebagai a site of pleasure—dalam berbagai bentuk. Sedangkan media literacy berupaya memproteksi anak-anak dari apa yang dipersepsi sebagai efek buruk media massa.
Dengan pendekatan yang lebih kritis, media literacy tidak hanya mempelajari segi-segi produksi, tetapi juga mempelajari kemungkinan apa saja yang bisa muncul akibat kekuatan media. Media literacy mengajari publik memanfaatkan media secara kritis dan bijak.
Tujuan dasar literasi media mengajarkan khalayak dan pengguna media untuk menganalisis pesan yang disampaikan oleh media massa, mempertimbangkan tujuan komersil dan politik di balik suatu citra atau pesan media, dan meneliti siapa yang bertanggungjawab atas pesan atau idea yang diimplikasikan oleh pesan atau citra itu. Secara sederhana, media literasi pada dasarnya merupakan kepedulian masyarakat terhadap dampak buruk dari media, khususnya media massa.
Seseorang pengguna media yang mempunyai literasi media atau melek media akan berupaya memberi reaksi dan menilai sesuatu pesan media dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Media literasi menjadikan pengguna media untuk berfikir dengan kritis terhadap idea, produk atau citra yang disampaikan dan dijual oleh isi media massa. Mengintensifkan kesadaran akan media sesungguhnya akan membantu membentuk masyarakat sipil yang terdidik. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar