Minggu, 01 Maret 2009

Politik Sebagai Ritual

Oleh Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Gegap gempita politik lokal dengan serentetan pilkada di berbagai kota, dan kini dengan dimulainya kembali pesta demokrasi sebagai agenda nasional lima tahunan, makin terasa bagaimana masyarakat mempersepsi dan bertindak dengan nama ‘politik‘.

Lazim dikenali bahwa politik dipahami sebagai sesuatu yang keras, prosedural, dan penuh intrik. Mengapa muncul pemahaman yang demikian ? Tidak lain karena seseorang cenderung melihatnya terpisah dari kehidupannya, bukan sesuatu yang terlibat. Kepentinganlah yang membuat politik memiliki wajah yang umum dikenali banyak orang. Pemahaman tersebut juga muncul karena politik diidentifikasi sebagai praktik rasional dalam mengelola kekuasaan. Alhasil, politik muncul dalam wajah yang kaku dan bersifat eksternal dari kehidupan individu maupun komunalnya.

Namun, sesungguhnya bisa dilacak wajah lain dari politik, terutama praksis politik. Terminologi ’praksis’ mengikuti cara Anthony Giddens memahami tindakan sosial manusia. Bagi Giddens tindakan manusia bersifat prosesual dan tak berujung. Setiap hari adalah proses relasi antara individu (agency) dan struktur. Jika banyak pemahaman teori sosial memisahkan antara individu dan struktur, namun Giddens justru melihatnya menyatu, ia bagai dua sisi mata uang. Dapat dibedakan, namun tak dapat dipisahakan. Giddens menyebutnya ’social practices’

Jika mengikuti terminologi ini, maka politik tidak semata prosedur, intrik, dan kekuasaan, tetapi juga ritual. Setiap individu maupun komunitas mengelola kehidupan melalui ritual. Tidak terkecuali juga politik. Desa merupakan entitas menarik untuk melihat bagaimana politik dikelola sebagai ritual. Salah satu yang membuatnya berbeda adalah keterlibatan nilai.

Di Bali misalnya, ada yang namanya Banjar. Banjar ini semacam komunitas desa yang terbentuk secara adat. Di Banjar ini dibicarakan berbagai masalah yang ada beserta solusinya. Tiap-tiap kepala keluarga menjadi anggota banjar ini. Kalau ada yang tidak ikut banjar, bisa-bisa dia dikucilkan oleh anggota banjar yang lain.

Komunitas bisa terbentuk dengan sendirinya tanpa diminta. Walaupun hidupnya mungkin sedang susah, tiap-tiap orang akan berkumpul secara sukarela jika ada kesamaan interest atau values tadi. Karena itu, tidak heran jika setiap musim lebaran selalu terjadi arus mudik yang padat dari kota-kota besar, terutama Jakarta, ke kota-kota asal kelahiran para pemudik.

Kalau bicara soal Communitization bukan berarti selalu berhubungan dengan teknologi canggih. Komunitas ini sebenarnya sudah ada sejak dulu, namun kita mungkin tidak terlalu memperhatikannya. Komunitas offline punya kepedulian satu sama lain. Mereka ini punya kesamaan nilai-nilai (values) sehingga tidak mudah tercerai-berai.

Anggota komunitas memang punya hubungan yang sangat erat satu sama lain. Hal ini karena dalam suatu komunitas, yang pertama-tama terjadi adalah conversation. Inilah yang membuat orang-orang yang terpisah jauh secara geografis misalnya, bisa bersama-sama berada dalam suatu komunitas. Dalam buku Groundswell, berjudul "The Groundswell Connection: Becoming a Civilised Catalyst", Communitization bisa dilakukan dengan beberapa cara. Kita bisa mendengarkan (listening) apa saja yang dibicarakan dalam suatu komunitas. Kita bisa juga berbicara (talking) kepada komunitas tersebut atau memberdayakannya (energizing). Bisa juga kita membantunya (helping). Dan terakhir kita bisa merangkul (embracing) komunitas yang bersangkutan.

Jadi, -- meminjam terminologi marketing -- kalau mau mengelola pelanggan di era New Wave Marketing sekarang, tidak cukup lagi melakukan segmentasi. Tidak cukup lagi mengandalkan customer relationship management (CRM) atau database yang sifatnya pasif belaka. New Wave Marketing memang membutuhkan alat-alat (tools) baru agar kita bisa tetap bertahan. Karena itu, mulai sekarang, lakukanlah Communitization, bukan lagi Segmentasi!

Inilah yang membedakan antara politik sebagai kepentingan dengan politik sebagai ritual. Politik sebagai kepentingan berusaha untuk memecah-mecah masyarakat demi pengetahuan akan karakteristiknya, untuk kemudian sejumlah treatment diberikan sebagai upaya menanamkan pengaruh, yang semua itu berujung pada dukungan terhadap kekuasaan. Dengan kata lain, politik sebagai kepentingan melakukan segmentasi untuk dikuasai.

Sebaliknya, politik sebagai ritual berusaha untuk terlibat dalam konfigurasi nilai masyarakat. Masyarakat yang terbayangkan dalam politik sebagai kepentingan adalah masyarakat yang terdiferensiasi, namun dalam politik sebagai ritual, masyarakat dibayangkan terlibat dalam kepedulian antara sesama. Yang mengemuka bukanlah kepentingan individu, namun kepentingan komunalnya, terutama adalah kontinuitas dan kelestarian nilai yang dianut anggota-anggota komunitas.

Dengan demikian, politisi saat ini mesti mempertimbangkan pemahaman ini. Mengingat sesungguhnya para politisi berangkat sebagai representasi komunalnya ketika ia berada parlemen. Mereka tentu saja tidak mewakili secara umum apa yang disebut sebagai Indonesia, mereka mewakili entitas, dengan keanekaragaman untuk menjadi Indonesia. Terminologi ’daerah pemilihan (dapil)’ bukanlah tanpa makna dan vakum sosial. Namun sarat dengan nilai, tradisi dan sejarah para anggota-anggota komunitasnya. Berjumpa dengan masyarakat bukan dengan segmentasi, tapi komunitisasi dapat menjadi entry yang baik untuk memaknai demokrasi representasi secara lebih berbobot. Karena politik sebagai kepentingan lebih tampak berpusat pada aktor sang politisi (actor center), ketimbang masyarakat nya (popular center)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar