Minggu, 01 Maret 2009

Politik, Kembali pada Keluarga

Oleh: Syarif Bastaman
Pemimpin Kelompok Usaha Syabas Group

Keluarga dan politik sesungguhnya menjadi dua kata yang menarik, mengingat keduanya sangat mungkin disimpulkan pada kata lain yang memiliki konotasi buruk, yaitu nepotisme, bahkan politik dinasti. Namun, sesungguhnya keluarga mesti memperoleh perhatian penuh mengingat perannya yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian politik.

Panggung politik Indonesia bisa jadi merupakan potret menarik bagaimana keluarga ditempatkan oleh masyarakat kita. Perilaku sikut kanan kiri bagi sebuah tujuan kepentingan. Di parlemen, kita mencermati begitu terbukanya para anggota parlemen mempertontonkan budaya korup, kekerasan, dan apatis terhadap kepentingan publik.

Di pemerintahan kita menyaksikan eksekusi kebijakan yang cacat secara moral, misalnya mengabaikan korban Lapindo, dengan membiarkan mereka hidup tak beraturan, yang hancur sistem sosialnya karena tenggelam ditelan lumpur. Bahkan pengabaian hak-hak rakyat mengarah pada sebuah ketidakpedulian yang akut. Sebuah televisi asing menayangkan kelaparan yang terjadi disebuah kabupaten di NTT, nyaris lebih parah dari apa yang dialami negara-negara miskin di Afrika. Hal yang aneh untuk negeri yang diklaim telah swasebada pangan.

Banyak hal runyam, sesungguhnya bisa dilacak dari institusi keluarga. Ilmuwan sosial sangat meyakini kedudukan keluarga sebagai institusi terpenting bagi seseorang melalui proses “menjadi”. Terminologi ini merujuk pada pembagian Eric Fromm, perihal apa yang disebutnya “menjadi” dan “memiliki”. Memiliki adalah konsep materialistis atas perilaku manusia, sedangkan “menjadi” adalah konsep yang meniscayakan prosesual. Banyak proses mendasar yang terjadi dalam kehidupan awal manusia terjadi didalam keluarga.

Konteks modernitas sesungguhnya telah menjadikan keluarga sebagai instrument penyokong modernitas itu sendiri. Iklan-iklan di televisi menempatkan keluarga sebagai sasaran pemasaran produk mereka. Keluarga adalah basis kapitalisme. Disini, keluarga seolah-olah tidak lagi memiliki benteng yang kuat untuk membendung pengaruh tersebut. Anggota-anggota keluarga telah dipecah-pecah dalam segmentasi yang tegas berdasarkan riset perilaku konsumen. Mengingat kesukaan sang bapak bisa berbeda dengan sang ibu dan anaknya, maka diformulasi lah produk yang melingkupi seluruh anggota keluarga. Anehnya, banyak yang menganggap bahwa modernitas ramah dengan keluarga.

Bagaimana dengan dunia politik ? Terdapat tantangan yang kuat dalam keluarga-keluarga Indonesia yaitu besarnya potensi konflik. Partai politik layaknya membuat penawaran produk. Tersedia secara berbeda pilihan bagi para remaja sebagai pemilih pemula, perempuan, maupun para lelaki. Konsistensi terhadap segmentasi ini membuat anggota keluarga mengembangkan pola relasi yang penuh curiga, tidak intim, apalagi harmonis.

Disisi lain, keluarga dapat mengalami ancaman yang terberat akibat kesalahan memilih pemimpin. Saat ini kita bisa melihat bagaimana masyarakat mengalami sakit yang luar biasa. Tingginya angka bunuh diri yang dilakukan oleh anggota keluarga, kekerasan dalam tangga, traficking, tingginya angka perceraian, dll. Ini semua merupakan cermin masyarakat yang sakit. Semua itu merupakan persoalan yang mengancam eksistensi keluarga. Jadi keluarga tidak boleh semata dilihat terpisah dari politik. Karena itu kembali pada keluarga merupakan gagasan yang bijak. Mengapa ?

Mengikuti anjuran para psikolog behavioral, individu dimasa-masa awal pertumbuhan mentalnya mengalami proses belajar sosial yang akan mempengaruhi perilakunya dikemudian hari. Mereka akan meniru apa yang orang dewasa lakukan. Bahkan bagi para psikolog psikoanalisa, kecenderungan pembelajaran dan pengalaman di masa kecil akan membatu dan akan membentuk sebuah sistem yang menentukan pola perilakunya dimasa dewasa. Selain itu bagi para psikolog humanistik, individu akan membangun makna yang berbeda atas kenyataan yang dijumpainya. Proses pembangunan makna ini sangat dipengaruhi juga oleh pengalamannya setiap hari. Tentu saja dalam proses pengembangan kepribadiannya dimasa kecil.

Dari pandangan-pandangan para psikolog tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pengalaman hidup akan mempengaruhi pandangan dunia (world view). Disinilah letaknya proses pembelajaran politik bisa diletakkan dalam proses pembangunan politik berbasis keluarga. Sangat mungkin politik dimaknai sebagai berlumuran dengan musuh, kebohongan, keculasan, dan kepentingan fana-duniawi, ditopang sikap mencari untung demi kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Bahkan, bila perlu menikam teman maupun lawan politiknya. Lebih parah lagi, dalam bahasa YB Mangunwijaya (1997), dunia politik digenangi dan dirembesi jiwa korup, mental mencuri, bohong, main tipu, suka yang semu, urik, tidak kenal fair play.

Jika demikian, tentu tidak ada orang tua yang ingin mengajari anaknya dengan politik dalam perspektif seperti itu. Politik mesti dimaknai sebagai jalan bagi pengelolaan kepentingan untuk memperoleh manfaat dari kehidupan. Jika demikian, agama pun dapat disandingkan dengan politik. Mengajari anak untuk menghargai pendapat orang lain, toleran, kesetaraan, moderasi, inklusif, adil, dan berjiwa merdeka, sesungguhnya mengajari mereka kepribadian demokratis.

Tentu saja, keluarga bukanlah institusi yang kedap sosial. Kerjasama yang baik antara keluarga, institusi pendidikan, dan komunitas disekitar, akan menjadi persemaian yang baik bagi bibit-bibit politisi terbaik. Politisi yang ramah terhadap keluarga, adalah politisi yang berasal darinya, dan mengerti betul persoalan-persoalan mendasar keluarga Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar